FERFORMANCE KEPALA KUA

“KEPALA KUA SUPER”*)




A.  Pendahuluan
Dalam sebuah pertandingan sepak bola, Kepala KUA Kecamatan  (selanjutnya disebut Kepala KUA) diibaratkan sebagai seorang striker bagi sebuah tim. Ia menjadi penentu apakah sebuah serangan yang dibangun dari kerjasama tim akan membuahkan gol atau hanya sebuah serangan yang menguras tenaga saja. Begitu pun dalam Kementerian Agama. Walaupun Kepala KUA adalah pejabat struktural yang hanya ber-eselon IV/b, tetapi ia menjadi ujung tombak Kementerian Agama. Baik buruk citra dan kinerja Kementerian Agama sangat dipengaruhi citra dan kinerja Kepala KUA dalam melaksanakan tugasnya memimpin Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Banyak Kepala KUA yang mampu dengan sangat baik melaksanakan tugasnya, sehingga masyarakat lebih menghormati dan menghargai dirinya daripada kepada Camat ataupun pimpinan pondok pesantren di daerahnya. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak Kepala KUA yang belum mampu bekerja memimpin KUA Kecamatan dengan baik. Banyak dari mereka yang masuk kantor hanya sekadar untuk ngabsen dan mengecek jumlah pernikahan saja, dengan keadaan kantor yang berantakan, dan staf yang tidak tahu apa yang harus dikerjakannya.
Komplain masyarakat terhadap pelayanan KUA Kecamatan masih sering terdengar dan menjadi topik dalam media massa. Bahkan beberapa media massa memberitakan skandal sex yang dilakukan oleh beberapa oknum Kepala KUA. Itu semua merupakan realita yang tidak bisa dibantah dan menjadi PR bagi segenap warga Kementerian Agama untuk memperbaikinya.
Untuk itu, Kementerian Agama sangat membutuhkan sosok Kepala KUA yang ideal, yang mampu menyumbangkan gol-gol keberhasilan yang indah dalam pelaksanaan tugas Kementerian Agama, sehingga mampu mengangkat citra KUA Kecamatan secara khusus dan Kementerian Agama secara umum, yang dalam makalah ini disebut “Kepala KUA Super”.

B.  Kepala KUA Sebagai “Pejabat Super”
Kepala KUA disebut sebagai “Pejabat Super” karena pada realitanya Kepala KUA bekerja melebihi tugas pokoknya (dalam arti positif). Kesimpulan itu diambil karena dengan sangat jelas Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 517 tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama pada pasal 2 menyatakan bahwa KUA Kecamatan bertugas untuk melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota di bidang Urusan Agama Islam dalam wilayah kecamatan. Padahal, kenyataannya Kepala KUA tidak hanya mengurusi bidang urusan agama Islam. Bidang wakaf, haji, dan penamas juga digarap oleh Kepala KUA.
Dalam bidang wakaf, berdasarkan PMA Nomor 1 Tahun 1978 dan PP Nomor 42 Tahun 2006, Kepala KUA ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Dalam PP Nomor 42 tahun 2006 (pasal 37) dijelaskan:
(1) PPAIW harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah adalah Kepala KUA dan/atau pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf.
(2) PPAIW harta benda wakaf bergerak selain uang adalah Kepala KUA dan/atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri.
Sedangkan bidang haji, Keputusan Menteri Agama Nomor 371 tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Nomor D/377 tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, mengamanatkan KUA Kecamatan melakukan bimbingan ibadah haji.
Sementara dalam bidang penamas—khususnya kemasjidan (yang menurut SOTK lama menjadi garapan Urais, sedangkan menurut SOTK baru menjadi garapan Penamas), Kepala KUA bersama dengan Ketua MUI Kecamatan masih tetap menerbitkan SKB untuk mengukuhkan dan melantik kepengurusan Dewan Keluarga (atau Kemakmuran) Masjid.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebenarnya Kepala KUA adalah “Kepala Kementerian Agama Kantor Kecamatan”, karena memang pada kenyataannya Kepala KUA juga mengurusi hampir semua bidang Kementerian Agama, juga karena Kepala KUA juga diamanatkan untuk menjadi koordinator keagamaan dan menjadi leading sector pembangunan bidang agama di wilayah kecamatan.
Dengan tugas Kepala KUA yang bertumpuk-tumpuk seperti itu tentunya mengharuskan Kepala KUA bukanlah orang sembarangan. Ia haruslah orang yang mau bekerja keras, penuh gagasan dan inovasi, serta lincah berkoordinasi lintas sektoral, walaupun eselonnya hanya IV/b sama dengan eselon Sekretaris Kelurah (Seklur). 

C.  Indikator Sikap “Kepala KUA Super”
Seorang “Kepala KUA Super” akan terlihat dari sikap-sikap (aslinya, bukan pura-pura) sebagaimana dipaparkan di bawah ini.

1.  Berakhlak Karimah
Sikap ini sengaja lebih didahulukan karena memang akhlak adalah hal yang paling jelas dilihat dan dinilai masyarakat sebelum kehebatan Kepala KUA dalam ilmu dan pekerjaannya.
Citra Kementerian Agama akan lebih terganggu dan lebih bernilai buruk di masyarakat jika seorang Kepala KUA berakhlak buruk, dibandingkan dengan jika Kepala KUA tidak profesional dalam bekerja melayani masyarakat.
Akhlakul karimah bagi Kepala KUA dapat diindikasikan dengan sikap-sikap sebagaimana dijelaskan berikut ini:

a.  Menjaga Muru’ah
Menjaga muru’ah adalah sikap menjaga kehormatan diri. Menjaga dari dosa-dosa kecil, apalagi dosa-dosa besar. Bahkan menjaga diri dari hal-hal yang bukan dosa tetapi menurut norma yang berlaku tidak layak dan tidak patut dilakukan.
“Kepala KUA Super” akan menghindari berjingkrak-jingkrak menari di depan umum (dengan diiringi musik dangdut yang menghentak) dalam suatu kenduri pernikahan umpamanya. Tetapi ia tidak anti untuk bernyanyi sopan bersama Pak Camat dan Pak Kapolsek dalam acara HUT RI di kecamatan.
Jika di antara pegawai yang dipimpinnya ada wanita (yang tentu bukan isterinya), ia akan senantiasa menjaga sikapnya. Begitu pula ketika masyarakat yang dilayaninya adalah wanita.

b.  Menjadi Uswah dalam Ibadah
Sebagai pimpinan, Kepala KUA semestinya menjadi teladan bagi para pegawai yang dipimpinnya dan juga bagi masyarakat yang dilayaninya. Ia harus menjadi teladan terutama dalam melaksanakan ibadah, karena ia adalah pimpinan dalam Kementerian Agama.
Alangkah eloknya jika Kepala KUA telah berwudlu sesaat sebelum adzan dhuhur berkumandang lantas ia bergegas ke masjid/mushalla ketika adzan berkumandang untuk shalat berjamaah yang imamnya adalah dirinya. Tidak lupa ia pun melaksanakan shalat-shalat sunnah seperti Shalat Rawatib dan Shalat Dhuha.
Ketika bulan Ramadhan, di mana pelayanan nikah sepi, “Kepala KUA Super” sebaiknya bertadarrus Al-Qur’an di sela-sela pekerjaannya daripada sekadar bermain game di komputer.

c.  Bersikap Tegas Tapi Santun
Dalam memimpin para pegawainya dan ketika melayani masyarakat, hendaknya Kepala KUA bersikap “tegas tapi santun”. Sikap ini bermakna bahwa ia tidak akan berkompromi dengan segala kesalahan dan penyelewengan dari aturan yang jelas. Tetapi sikapnya tetap santun, tanpa amarah, dan tanpa dendam.
Seorang “Kepala KUA Super” harus berani menolak kehendak nikah poligami seorang pejabat tinggi negara (umpamanya) yang belum memiliki izin poligami dari Pengadilan Agama. Penolakan yang ia lakukan haruslah sesuai prosedur (menggunakan model N9) disertai dengan sikap baik dan penjelasan yang memberi pencerahan.

d.  Berpenampilan Rapi dan Sopan
Memang Allah tidak menilai kemuliaan seseorang dari casing yang dipakainya, tetapi harus diingat, bahwa Allah mencintai dan menghargai keindahan, kebersihan, dan kerapihan. Artinya, seorang Kepala KUA semestinya berpenampilan rapi dan sopan, terlihat indah dan pantas jika dilihat.

2.  Profesional
a.  Memahami Tugas, Fungsi, dan Kewenangnannya
Sudah jelas bahwa tugas Kepala KUA bertumpuk-tumpuk. Mulai dari bidang urusan agama Islam, bidang wakaf, bidang haji, bidang penamas, hingga menjadi koordinator keagamaan dan leading sector pembangunan agama di wilayah kecamatan. Mau tidak mau, Kepala KUA mesti memahami dengan benar keseluruhan tugas-tugasnya tersebut beserta fungsi dan kewenangannya.
Pemahaman yang benar akan tugas, fungsi, dan kewenangan Kepala KUA sangat diperlukan oleh Kepala KUA dalam bekerja melayani masyarakat. Tujuannya agar kepala KUA tidak offside, melakukan tugas atau fungsi atau kewenangan pejabat lain yang akan mengakibatkan cacat hukum atau cacat administrasi.
Sebagaimana dalam KMA Nomor 517 tahun 2001, Kepala KUA (sebagai top leader pada KUA Kecamatan) memiliki fungsi:
1)   Menyelenggarakan Statistik dan Dokumentasi;
2)   Menyelenggarakan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan, pengetikan dan rumah tangga KUA Kecamatan;
3)   Melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah, sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Direktur Jendeeral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara kewenangan Kepala KUA, sebagian di antaranya adalah:
1)   Menjadi Wali Hakim di wilayah Kecamatan bagi calon pengantin wanita yang tidak memiliki wali nasab atau wali nasabnya ada halangan syar’i;
2)   Menerbitkan dan atau menandatangani Akta, Kutipan Akta, dan surat-surat otentik lainnya dalam bidang NR sebagai PPN;
3)   Menerbitkan dan atau menandatangani Akta, Salinan Akta, dan surat-surat lainnya dalam bidang wakaf selaku PPAIW;
4)   Menerbitkan dan atau menandatangani surat-surat bagi pelaksanaan kegiatan bimbingan calon jemaah haji, zakat, kemasjidan;
5)   Menetapkan visi, misi, rencana strategis, rencana kerja tahunan, dan program serta kegiatan yang akan dilaksanakan sejalan dengan visi, misi Kementerian Agama;
6)   Mengatur, membagi kerja, dan menetapkan job deskripsi bagi seluruh pegawai yang ada di KUA Kecamatan baik pegawai struktural maupun fungsional, juga mengawasi serta melakukan evaluasi atas pekerjaan seluruh pegawai, karena ia kepala kantor.

b.  Memiliki Kompetensi di Bidangnya
Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang Pegawai Negeri Sipil, berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 13 Tahun 2011 tanggal 28 Juni 2011 menjelaskan tentang Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan. Pedoman ini merupakan panduan bagi setiap instansi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menyusun standar kompetensi jabatan pada instansi masing-masing.
Kepala KUA Kecamatan adalah jabatan struktural dengan eselon IV (IV b). Sesuai Standar Kompetensi Umum Jabatan Struktural Eselon IV, Kepala KUA Kecamatan hendaknya memiliki kemampuan sebagai berikut:
ü Mampu memahami dan mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance) dalam pelaksanaan tugas dan tanggung-jawab unit organisasinya.
ü Mampu memberikan pelayanan prima terhadap publik sesuai dengan tugas dan tanggung jawab unit organisasinya.
ü Mampu melaksanakan pengorganisasian dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawab unit organisasinya.
ü Mampu mengatur/mendayagunakan sumberdaya-sumberdaya untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas unit organisasi.
ü Mampu membangun jaringan kerja/melakukan kerja sama dengan unit-unit terkait baik dalam organisasi, maupun diluar organisasi untuk meningkatkan kinerja unit organisasinya.
ü Mampu melakukan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dalam unit organisasinya.
ü Mampu menumbuh-kembangkan inovasi, kreasi dan motivasi pegawai untuk mengoptimalkan kinerja unit organisasinya.
ü Mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan pengawasan dan pengendalian dalam unit organisasinya.
ü Mampu memberikan akuntabilitas kinerja unit organisasinya.
ü Mampu melakukan evaluasi kinerja unit organisasinya dan para bawahannya dan menetapkan tindak lanjut yang diperlukan
ü Mampu memberikan masukan-masukan tentang perbaikan-perbaikan/ pengembangan-pengembangan kegiatan-kegiatan kepada pejabat atasannya.

c.  Bekerja Melayani Masyarakat Berbasis SOP
Standart Operation Procedure (SOP) sudah merupakan hal wajib alias fardlu bagi setiap instansi pemerintah, terutama instansi yang berhadapan langsung dan melakukan pelayanan kepada masyarakat seperti KUA.
Kementerian Agama (dari Pusat hingga ke kabupaten/kota) telah dan sedang menetapkan SOP-SOP bagi pelayanan NR, wakaf, dan pelayanan-pelayanan KUA lainnya. Sebagian telah diberlakukan sebagiannya lagi belum. Dalam bekerja melayani masyarakat, Kepala KUA harus memastikan bahwa pelayanan yang dilakukan adalah berdasarkan SOP-SOP tersebut. Jika suatu pelayanan diamanatkan harus dapat selesai dalam 30 menit, maka Kepala KUA beserta segenap pegawainya harus mampu menyelesaikannya dengan baik tidak lebih dari 30 menit. Bahkan, jika memungkinkan harus ada target kurang dari 30 menit.

d.  Mampu Menggerakkan dan Memotivasi Kerja
Manajer yang baik bukanlah manajer borongan yang mengerjakan sebagian besar pekerjaan oleh dirinya sendiri (karena tidak percaya kepada pegawainnya atau karena belum ada pegawainnya yang bisa mengerjakan). Manajer yang baik adalah manajer yang mampu menggerakkan dan memotivasi pegawainya untuk bekerja dengan baik sesuai tugas dan fungsinya. Begitu pun kepala KUA.
Pembuatan job deskripsi yang jelas, tepat, dan aplikatif bagi setiap pegawai merupakan hal yang amat penting untuk menggerakkan pegawai melaksanakan tugasnya dengan baik.
Tentunya juga harus disertai dengan bimbingan, motivasi, teguran, peringatan, dan pengawasan melekat yang terarah dan terstruktur yang didasari ketulusan dan tanggung jawab selaku pimpinan terhadap para pegawainnya.

e.  Loyal dan Komitmen Terhadap Korps Kementerian Agama
Kementerian Agama pada hakikatnya memiliki tugas mulia yakni berupaya agar warga negara Indonesia dapat hidup dengan aman dan indah dengan menjalankan agamanya. Hakikat tugas itu bukanlah hal yang ringan. Karenanya, diperlukan kesatuan langkah dari segenap pegawai Kementerian Agama terutama para pejabatnya dalam melaksanakan program-program yang telah direncanakan.
Jangan sampai, seorang Kepala KUA justeru menjadi duri penghambat pelaksanaan program karena ia melangkah sendiri, bekerja semaunya sendiri, tanpa mengindahkan petunjuk dan arahan dari atasannya.

f.  Bersinerji dengan Instansi dan Lembaga Lain di Wilayah Kecamatan
“Kepala KUA Super” adalah sosok yang mobile. Ia aktif dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh mitra-mitranya di kecamatan. Ia pun melaksanakan program-program Kementerian Agama dengan bersinerji dengan instansi dan lembaga lain di wilayah kecamatan yang dipimpinnnya. Ia mampu berkoordinasi lintas sektoral dengan cantik dan elegan.
“Kepala KUA Super” bukan tipe Kepala KUA “penjaga kantor”. Ia keluar dari kantor KUA bukan untuk meninggalkan tugasnya, tetapi justeru untuk bersinerji dengan instansi atau lembaga lain guna memperkuat pelaksanaan program Kementerian Agama dan pembangunan bidang agama di wilayahnya.



3.  Terus Mengembangkan Diri
a.  Long Life Education
Bagi seorang Muslim, terutama bagi Kepala KUA, perintah Nabi Saw. untuk mencari ilmu dari buaian sampai liang lahat merupakan petunjuk agung bagi pengembangan dirinya. “Kepala KUA Super” tidak akan pernah puas atas ilmu yang telah dimilikinya. Ia akan selalu haus akan segala ilmu dan pengetahuan, khususnya yang menunjang pelaksanaan tugasnya memimpin kantor terujung dari Kementerian Agama.
Meneruskan sekolah formal ke jenjang pascasarjana (S2 dan S3) merupakan salah satu program prioritas pengembangan diri yang dilakukan oleh “Kepala KUA Super”. Sebab ia sadar bahwa selaku pemimpin ia harus lebih maju dari yang dipimpinnnya. Apalagi, memang sudah banyak di antara staf atau penghulu yang dipimpinnya (terutama pada KUA-KUA di kota-kota besar) yang telah berpendidikan S2.
Selain pendidikan formal, “Kepala KUA Super” juga senantiasa berperan serta aktif dalam diklat-diklat, workshop, seminar, dan forum ilmiah lainnya, baik yang diselenggarakan Kementerian Agama maupun yang difasilitasi oleh instansi atau lembaga atau pihak lain.

b.  Menggali Kitab-Kitab Turats Hukum Islam
Penggalian akan khazanah keilmuan yang telah dihasilkan para ulama terdahulu pada zaman keemasan Islam yang tersaji dalam kitab-kitab turats (kitab-kitab kuning) menjadi hoby dari “Kepala KUA Super”. Ia menyisihkan uang pribadinya untuk membeli kita-kitab yang diperlukan atau untuk mengunduh kitab-kitab turats yang banyak tersaji di dunia tanpa batas: internet.
Memang benar jika Kepala KUA seharusnya menjalankan dengan konsekwen segala peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan negara/pemerintah Republik Indonesia. Ia akan lebih mendahulukan itu daripada nilai-nilai, pemahaman, atau hukum-hukum yang lainnya. Tetapi, ia pun harus memahami norma, pemahaman, dan hukum-hukum selain peraturan perundang-undangan, seperti Fiqh, Ushul Fiqh, dan fatwa-fatwa.
Ini dilakukan oleh “Kepala KUA Super” karena ia menyadari bahwa masyarakat yang ia layani menjalankan norma, pemahaman, dan hukum-hukum tersebut. Bahkan, sebagian dari mereka terkadang sangat emosional dan tidak mau membuka diri bagi norma, pemahaman, dan hukum  di luar yang mereka yakini.
“Kepala KUA Super” akan tetap konsekwen menjalankan peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan, tetapi ia tidak akan bersikap kaku. Ia akan menjaga substansi hukum dari peraturan-peraturan tersebut, di samping ia dengan bijak menyesuaikan teknis (yang tidak prinsipil) dengan norma, pemahaman, dan hukum yang masyarakat anut. Tentunya ia pun harus terus tanpa putus asa dan dengan cara yang cantik melakukan sosialisasi dan penjelasan peraturan perundang-undangan kepada masyarakat. Ini sebagai strategi tatbiq al-ahkam (menerapkan peraturan perundang-undangan ke masyarakat). Misinya adalah terbukanya wawasan masyarakat, sehingga dapat menerima peraturan perundang-undangan. 

c.  Melek IT
Di jaman di mana teknologi (terutama teknologi informasi) yang berkembang begitu cepat seperti sekarang, “Kepala KUA Super” akan menganggapnya sebagai tantangan yang menarik hatinya dan peluang yang akan menjadi solusi untuk berusaha terus memperbaiki kinerja dirinya dan segenap pegawai yang dipimpinnya untuk melayani masyarakat.
Seorang “Kepala KUA Super” tidak perlu mahir secara mendalam teknologi komputer, internet, printer, foto digital, dan teknologi teknologi lainnya. Ia hanya cukup memahami dasar-dasar dan manfaat dari teknologi-teknologi tersebut. “Kepala KUA Super” akan mengarahkan dan memfasilitasi beberapa pegawainya untuk mahir dan ahli dalam IT.
Langkah ini ia lakukan untuk lebih mempermudah dan mengefektifkan pelaksanaan pekerjaan di kantornya, seperti yang sudah ia buktikan dengan Sistem Informasi Manajemen Pernikahan (SIMKAH).




D.  Penutup
Dari paparan di atas jelaslah bahwa Kepala KUA memiliki peran yang sangat strategis bagi Kementerian Agama. Walaupun eselonnya rendah, tetapi tugas dan tanggung jawabnya “super”. Dari mengurusi bidang urais, wakaf, haji, hingga kemasjidan penamas. Karena itu dibutuhkan sosok “Kepala KUA Super” yang memiliki ferformance berakhlakul karimah, profesional, dan terus mengembangkan diri untuk memimpin kantor terujung dari Kementerian Agama: KUA.
Akhlakul karimah terindikasi dari sikap Kepala KUA yang menjaga muru’ah, menjadi uswah dalam hal ibadah, bersikap tegas tapi santun, serta berpenampilan rapi dan sopan. Sementara profesional diwujudkan dengan sikap Kepala KUA yang memahami tugas, fungsi, dan kewenangannya; memiliki kompetensi di bidangnya; bekerja melayani masyarakat berbasis SOP; mampu menggerakkan dan memotivasi kerja; loyal dan komitmen terhadap korps Kementerian Agama; dan bersinerji dengan instansi dan lembaga lain di wilayah kecamatan. Adapun sikap terus mengembangkan diri ditandai dengan langkah long life education, menggali kitab-kitab turats hukum Islam, dan melek IT.



DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama, Pedoman Pejabat urusan Agama Islam Edisi 2004, Jakarta, 2004.
Fremont E. kast dan James E. Rosenzweig, Organisasi dan manajemen, Jakarta: Bumi Aksar, 1996.
George R. Terry, Prinsip-Prinsip Manajemen, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Hadari Nawawi, Kepemimpinan yang Efektif, Yogyakarta: Gajah mada University Presss, 1995.
Ibnu Syamsi SU., Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Departemen Agama, Pedoman Pejabat urusan Agama Islam Edisi 2005, Jakarta, 2005.
M. Karjadi, Kepemimpinan (Leadership), Bandung: Karya Nusantara, 1989.
Onong U. Effendy, Psikologi Manajemen dan Administrasi, C.V. Mandar Maju, 1989.
Pandji Anoraga, Psikologi Kepemimpinan, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Sismono, Sejarah dan Amal Bakti Departemen Agama Republik Indonesia, Bandung: Bina Siswa, 1991





*) TOTO SUPRIYANTO, M.Ag (Sekretaris Pokjahulu Kota Bandung, Penghulu Muda KUA Kec. Coblong Kota Bandung); Makalah bertema “Ferformace Kepala KUA yang Ideal” diajukan sebagai salah satu persyaratan peserta Uji Kompetensi Calon Kepala KUA Tahun 2012 yang diselenggarakan Kementerian Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat pada 14—16 Mei 2012 di Hotel Dariza, Cipanas, Garut

Dokumentasi Photo

OL PESERTA DIKLAT CALON PENGHULU JAKARTA DAN BANTEN ANGKATAN III DI KUA KEC. BANDUNG KIDUL KOTA BANDUNG








PETUNJUK TEKNIS PERSERTIFIKATAN TANAH WAKAF

PETUNJUK TEKNIS

PERSERTIFIKATAN TANAH WAKAF

Oleh: Ending Saripudin, M. Ag

Hp. 08122346443


 

TIPE TANAH YANG DIWAKAFKAN DAN SYARAT-SYARAT YANG HARUS DILENGKAPI

A. Tanah Adat

Tanah adat merupakan tanah yang belum bersertifikat, dengan kata lain tanah ini belum didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten/Kota. Tanah ini, biasanya diperoleh dari turun temurun sebelum tahun 1960 dan data tanah ini terdapat di Kantor Kecamatan atau Kelurahan datanya, berupa Nomor Kohir, Persil dan Kelas-nya. Untuk mensertifikatkan tanah seperti ini dibutuhkan data yuridis ( bukti-bukti tertulis) dan data historis (riwayat tanah) serta data fisik yang satu dengan yang lainnya harus saling berhubungan, mulai dari nama yang tercantum dalam Kohir/ Leter C, Wakif sampai dengan Nama Nadzir. Untuk pensertifikatan tanah ini supaya menjadi sertifikat wakaf dibutuhkan persyaratan sebagai berikut:

1. Foto Copy Leter C/Kohir dari Kecamatan/kelurahan (dilegalisir oleh camat/lurah)

2. Foto Copy PBB tahun berjalan lunas, jika tidak ada maka PBB tanah yang berdekatan dengan tanah wakaf (dilegalisir oleh PPAIW)

3. Foto Copy KTP Wakif (W.2)/yang mendaftarkan (W.3), Pengurus Nazdir Peroranga (W.5) berjumlah lima orang atau Pengurus Nadzir Organisasi/Badan Hukum (W.5a) berjumlah tiga orang dan dua orang saksi yang masih berlaku (dilegalisir PPAIW)

4. Akta Ikrar Wakaf (W.2) / Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (W.3) (disesuaikan oleh PPAIW dengan memperhatikan data yuridis dan data historis tanah wakaf bersangkutan)

5. Surat Pengesahan Nadzir (W.5/W.5a) (disesuaikan dengan Nadzir apakan nadzir perorangan atau organisasi/badan hukum), untuk nadzir organisasai atau badan hukum seperti NU, Muhammadiyah, Persis atau Yayasan harus dilengkapi dengan Foto Copy akta pendirian dari notaris dan bukti tertulis telah didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Azazi Manusia di Jakarta (dilegalisir Notaris/PPAIW)

6. Jika salah satu data yuridis adalah Akta Jual Beli, maka harus ada AJB yang asli (yang ada tanda tangan penjual, pembeli, dua saksi dan PPAT) bukan salinannya dan jika data kelurahan dan kecamatan ada perubahan karena pemekaran wilayah maka harus ada surat keterangan pemekaran dari kelurahan yang sekarang.

7. Jika tanah warisan, maka harus ada Surat Keterangan Ahli waris dari Kecamatan (dilegalisir oleh camat/lurah/PPAIW)

8. Materai 6000 sebanyak 20 buah (digunakan untuk Pembuatan Akta dan warkah)

9. Warkah Pengakuan Hak/ Konversi dan warkah Pengukuran tanah adat (disediakan di koperasi BPN)

10. Berkoordinasi dengan kelurahan setempat untuk melengkapi warkah tanah adat yang harus ditanda tangani oleh lurah


 

B. Tanah yang sudan Bersertifikat

Tanah yang diwakafkan dari tanah yang sudah bersertifikat terbagi dua:

1. Tanah yang diwakafkan hanya sebagian (Misalnya di sertifikat luas: 100 M2 yang diwakafkan luas: 50 M2) untuk pensertifkatan tanah wakaf seperti ini dibutuhkan persyaratan sebagai berukut:


 

a. Sertifikat yang Asli (Sertifikat Induk). Seorang PPAIW berkewajiban untuk meneliti dan memastikan bahwa sertifikat aslinya ada di tangan wakif atau nadzir. Sertifikat yang sedang dianggunkan di Bank misalnya, tidak dibenarkan diwakafkan.

- Untuk daerah pemekaran seperti Kec. Gedebage, Panyileukan, Cinambo, Mandalajati dan

sebagian wilayah Kec. Rancasai, Arcamanik dan Antapani sebelum ditulis data sertifikat di

Akta Ikrar Wakaf terlebih dahulu harus dilakukan perubahan data tanah/pemekaran

wilayah ke BPN dengan melampirkan surat keterangan pemekaran dari Kelurahan

setempat.

- Untuk Sertifikat orang yang telah meninggal dunia dan telah ada surat keterangan Ahli Warisnya harus dilakukan balik nama Ahli Waris terlebih dahulu sebelum data wakif ditulis di Akta Ikrar wakaf.

b. Foto Copy PBB tahun berjalan Lunas, jika PBB tidak ada maka PBB tanah yang berdekatan dengan tanah tersebut (dilegalisir PPAIW)

c. Foto Copy KTP Wakif, Pengurus Nadzir dan dua orang saksi yang masih berlaku (dilegalisir PPAIW)

d. Akta Ikrar wakaf (W.2) untuk tanah yang sudah bersertifikat tidak dibenarkan menggunakan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (W.3) kecuali ada data yuridis lain yang mendukung.

e. Surat Pengesahan Nadzir (W.5/W.5a)

F. Materai 6000 sebanyak 10 buah

g.Warkah Pemekaran Wilayah/Perbaikan data (bagi Sertifikat yang kena Pemekaran) (disediakan koperasi BPN)

h. Warkah Balik nama Waris (bagi sertifikat yang balik nama ahli waris) (disediakan BPN)

i. Warkah Pemecahan/ Penggabungan dan pengukuran (disediakan di Koperasi BPN)


 

2. Tanah yang diwakafkan seluruhnya (Misalnya di sertifikat luas: 100 M2 yang diwakafkan Luas: 100 M2) untuk pensertifkatan tanah wakaf seperti ini dibutuhkan persyaratan sebagai berukut:

a. Sertifikat yang Asli. Seorang PPAIW berkewajiban untuk meneliti dan memastikan bahwa sertifikat aslinya ada di tangan wakif atau nadzir. Sertifikat yang sedang dianggunkan di Bank misalnya, tidak dibenarkan diwakafkan.

- Untuk daerah pemekaran seperti Kec. Gedebage, Panyileukan, Cinambo, Mandalajati dan sebagian wilayah Kec. Rancasai, Arcamanik dan antapani sebelum ditulis data sertifikat di Akta Ikrar Wakaf terlebih dahulu harus dilakukan perubahan data tanah/pemekaran wilayah ke BPN dengan melampirkan surat keterangan pemekaran dari Kelurahan setempat.

- Untuk Sertifikat yang namanya di sertifikat telah meninggal dunia dan telah ada surat keterangan Ahli Warisnya harus dilakukan balik nama Ahli Waris terlebih dahulu sebelum data tanah sertifikat ditulis di Akta Ikrara wakaf.

b. Foto Copy PB tahun berjalan Lunas, jika PBB tidak ada maka PBB tanah yang berdekatan dengan tanah tersebut (dilegalisir PPAIW)

c. Foto Copy KTP Wakif, Pengurus Nadzir dan dua orang saksi yang masih berlaku (dilegalisir PPAIW)

d. Akta Ikrar wakaf (W.2) untuk tanah yang sudah bersertifikat tidak dibenarkan menggunakan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (W.3) kecuali ada data yuridis lain yang mendukung

e. Surat Pengesahan Nadzir (w.5/W.5a)

F. Materai 6000 sebanyak 8 buah

g.Warkah Pemekaran Wilayah/Perbaikan data (bagi Sertifikat yang kena Pemekaran)(disediakan BPN)

h. Warkah Balik nama Waris (bagi sertifikat yang balik nama ahli waris) (disediakan BPN)

i. Warkah balik nama Wakaf dan dilengkapi lampiran D.I 1004 (disediakan di Koperasi BPN)

 

Peraturan Perundangan Kepenghuluan


Kompilasi Hukum Islam.pdf
221 K   Unduh  
Lamp1Menpan Penghulu2005.xls
69 K    Unduh  
 perbersama_menag_dan_kepala_bkn_nomor_20_tahun_2005_nomor_14a_tahun_2005petunjuk_pelaksanaan_jabatan_fungsional_penghulu_dan_an
1567 K     Unduh  
Perjan_Juknis_Penghulu_n_AK-nya.pdf
268 K   Unduh  
PERMENPAN ttg JabFung Penghulu_AK.pdf
99 K   Unduh  
Perpres732007.pdf
2253 K   Unduh  
PMA 1 TH 1994 PENDAFTARAN NIKAH LUAR NEGERI.docx
17 K   Lihat   Unduh  
PMA 11-REV.doc
531 K   Lihat   Unduh  
PMA 30 TH 2005 WALI HAKIM.docx
23 K   Lihat   Unduh  
PMA 5 2007 TTNG UPT KUA.doc
62 K   Lihat   Unduh  
PMA-11-2007_Pencatatan Nikah.pdf
645 K   Lihat   Unduh  
PP 47 Th 2004 pengganti PP 51 th 2000.pdf
77 K   Lihat   Unduh  
PP 51 TAHUN 2000.pdf
25 K   Lihat   Unduh  
UU 23 TH 2006.doc
38 K   Lihat   Unduh 

IJAB-QABUL DAN PERMASALAHANNYA

IJAB-QABUL DAN PERMASALAHANNYA


Pendahuluan
Puncak dari pelaksanaan akad nikah adalah ijab-qabul (yang merupakan rukun terakhir dari akad nikah). Sah atau tidaknya suatu akad nikah tergantung kepada sah atau tidaknya ijab-qabul yang dilakukan. Karenanya, tidak heran jika untuk melakukan ijab-qabul biasanya penghulu melakukan pengkondisian suasana dengan pembacaan istighfar, syahadat, dan shalawat. Tujuannya agaknya untuk menyiapkan hati, menghadirkan kalbu, dan meluruskan niat, agar ijab-qabul yang akan dilaksanakan dapat berlangsung dengan sempurna sesuai ketentuan syariat.
Langkah penghulu ini, selain taat terhadap juklak dan juknis pelaksanaan akad nikah yang telah dikeluarkan Departemen Agama, tentu juga sebagai tanggung jawab moral sebagai pelayan masyarakat untuk melakukan pelayanan prima. Masalahnya, terkadang penghulu dihadapkan kepada selera dan keinginan masyarakat yang berbeda tentang penyelenggaraan akad, khususnya ijab-qabul, karena berbedanya keyakinan madzhab yang dianut masyarakat.
Makalah ini diharapkan menjadi informasi berharga bagi pelaksanaan tugas di lapangan. Di dalamnya dibahas mengenai masalah-masalah yang biasa timbul atau dimungkinkan timbul mengenai ijab-qabul. Antara lain masalah shighat (yang meliputi tiga masalah); masalah qabul yang dinyatakan sebelum ijab; masalah "cek-gur" (fauriyah); dan masalah ijab dan qabul yang dilakukan oleh satu orang yang sama. Namun sebelumnya diurai terlebih dulu apa akad dan apa ijab-qabul.

Apa Akad dan Apa Ijab-Qabul

Secara bahasa, akad (العقد) berarti mengikat ujung suatu benda dengan ujung yang lainnya (الربط بين أطراف الشيء ) . Dalam konteks kehidupan, bermakna melakukan perikatan dengan orang lain (ارتبط مع شخص أخر).
Definisi Akad ini masih bermakna umum, karena melingkupi semua perikatan yang dilakukan manusia dengan sesamanya, yang dipilah menjadi dua: pertama, perikatan yang berupa wakaf, thalak, sumpah, dan yang sejenisnya, yang pelaksanaannya cukup dikemukakan maksudnya oleh satu pihak saja; kedua, perikatan yang berbentuk jual beli, sewa-menyewa, gadai, nikah, dan sebagainya, yang mengharuskan kedua belah pihak yang melakukan perikatan mengemukakan maksudnya. Perikatan kelompok pertama dinamai dengan tasharruf, sedangkan perikatan yang kedua dikenal dengan العقد
(tapi) dalam makna yang khusus.
    Aqad dalam makna yang khusus ini didefinisikan dengan:

ارتباط إيجاب بقبول على وجه مشروع يثبت أثره في محله

"Tersimpulnya ijab dan qabul dalam perkara yang dibenarkan syariat yang berkonsekwensi tetapnya akibat sesuai yang dikehendaki (dalam ijab-qabul)"

    Ijab dan qabul pada intinya merupakan perbuatan yang menunjukkan ridlonya kedua pihak yang melakukan akad (الفعل الدال على الرضا بالتعاقد). Dalam mendefinisikan ijab dan qabul, para ulama sedikit berbeda pendapat.
Ijab oleh ulama Hanafiyah didefinisikan sebagai:

إثبات الفعل الخاص الدال على الرضا الواقع أولا من كلام أحد المتعاقدين أو ما يقوم مقامه

"Perbuatan tertentu yang dilakukan untuk menunjukkan keridloan, yang dinyatakan pertama kali dari salah satu pihak yang melakukan akad atau orang yang mewakilinya."
Adapun qabul adalah:

ما ذكر ثانيا من كلام أحد المتعاقدين دالا على موافقه ورضاه بما أوجبه الأول

"Pernyataan kedua yang diungkapkan satu pihak (lainnya) yang melakukan akad, yang menunjukkan persetujuan dan keridloannya, sebagai jawaban dari pernyataan (ijab) pihak pertama."

Definisi ulama Hanafiyah tersebut jelas mengharuskan bahwa ijab harus dinyatakan terlebih dahulu sebelum qabul; dan qabul tidak boleh mendahului ijab.
Sedangkan ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa ijab merupakan pernyataan dari orang yang mengalihkan hak, walaupun dilakukan belakangan (ما صدر ممن يكون منه التمليك وإن جاء مأخرا ); dan qabul adalah pernyataan dari orang yang diberi hak milik, walaupun dilakukan duluan (ما صدر ممن يصير له الملك وإن صدر أولا) .

    Dari definisi ijab dan qabul ini saja menimbulkan permasalahan, apalagi hal-hal lainnya yang lebih jauh.. Karenanya, ayo kita bawa masalah-masalah tersebut dalam poin bahasan selanjutnya.  

Masalah-Masalah Ijab-Qabul

Shighat Ijab-Qabul
Shighat adalah ungkapan orang yang melakukan akad untuk menunjukkan keinginan dalam hatinya yang tersembunyi. Pengungkapan kehendak hati yang tersembunyi tersebut dilakukan melalui ucapan atau perbuatan lain yang menempati posisi sama dengan ucapan seperti isyarat atau tulisan. Dengan definisi tersebut dapat digarisbawahi bahwa pada normalnya, shighat ijab-qabul harus diungkapkan dengan ucapan, tetapi jika tidak bisa melakukannya dengan ucapan, dapat menggunakan ungkapan lainnya seperti isyarat dan tulisan.

Ijab-Qabul dengan Ucapan
Ucapan merupakan alat utama untuk mengungkapkan maksud batin yang tersembunyi, yang paling banyak dipakai dalam akad karena kemudahannya, juga karena kekuatan dalalah dan faktor kejelasannya. Dengan kata-kata, maksud batin yang tersembunyi lebih mudah diungkapkan dengan jelas dan lebih mudah difahami, daripada menggunakan isyarat dan tulisan.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ucapan tersebut dapat menggunakan bahasa apa saja yang dimengerti oleh kedua pihak yang berakad. Hanya sedikit ulama yang mengharuskan ijab-qabul nikah dengan Bahasa Arab. Di antara ulama tersebut adalah Ibn Qudamah (seorang ulama Syafi'iyah), ia berpendapat, jika seseorang mampu berbahasa Arab tetapi kemudian tidak menggunakan Bahasa Arab dalam ijab-qabul nikah, maka akadnya tidak sah. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh ulama Hanabilah.
Pendapat ini timbul dari keyakinan bahwa akad nikah merupakan ibadah seperti halnya shalat. Karena ibadah, maka ijab-qabulnya harus menggunakan Bahasa Arab seperti yang digunakan Rasulullah saw., sebagaimana kalimat takbir
(الله أكبر)
dalam shalat tidak bisa mengunakan bahasa Indonesia (umpamanya): "Allah Maha Besar."
Jadi, masalahnya terletak pada apakah akad nikah itu merupakan ibadah mahdhah seperti shalat, atau seperti akad-akad layaknya jual-beli, gadai, sewa-menyewa, dan yang sejenisnya.
Masalah kemudian merembet kepada teknis penggunaan kata-katanya. Para ulama berbeda pikiran dalam kata yang harus digunakan dalam akad nikah. Ulama Hanafiyah membolehkan kata apa saja yang menunjukkan makna untuk mengalihkan (hak) kepemilikan, seperti kata "menikahkan" (tazwij dan nikah), atau kata "memindahkan kepemilikan" (tamlik), "memberikan" (hibah), atau "menshadaqahkan", dengan syarat niatnya harus nikah disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud kata tersebut adalah nikah, seperti memberikan mas kawinnya.
Sedangkan Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah memberikan syarat untuk sahnya akad nikah dengan harus digunakannya kata "nikah" (zawaja dan nakaha) saja dan semua kata yang berakar (yang dibentuk) darinya.
Selanjutnya masalah diteruskan mengenai bentuk kata yang digunakan, apakah menggunakan bentuk lampau, bentuk sedang dan akanan (mudhari atau present dan future tense), bentuk pertanyaan, ataupun bentuk perintah.
Para ulama sepakat mengenai penggunaan bentuk lampau (fi'il madhi), seperti أنكحتك atau زوجتك, karena bentuk ini sudah biasa digunakan untuk maksud sedang (melakukan) dan bentuk yang digunakan Rasulullah saw. ketika menikahkan. Mereka juga bersepakat bolehnya menggunakan bentuk fi'il mudhari (yang mengandung arti sedang dan akan), seperti أنكحك atau أزوجك dengan syarat harus ada niat bahwa yang dikehendaki adalah arti sedang. Tetapi tidak sah jika ada penambahan huruf/kata س dan سوف , yang sudah pasti menunjukkan makna akan. Tidak sah juga akad yang ijab-qabulnya menggunakan bentuk pertanyaan. Alasannya, bentuk pertanyaan menunjukan makna akan.
Pada intinya, ijab-qabul yang bermakna akan adalah tidak sah, seperti ucapan wali dalam akad nikah, "Saya akan nikahkan engkau besok ...," atau ucapan calon pengantin laki-laki, "Saya akan terima menikah satu bulan lagi ...."
Mengenai penggunaan bentuk perintah akan terbahas pada masalah "Qabul Dinyatakan Sebelum Ijab"

Ijab-Qabul dengan Isyarat dan Tulisan
Madzhab Syafi'iyah dan Hanafiah hanya membolehkan ijab-qabul dilakukan dengan isyarat bagi orang yang tidak bisa berbicara (karena bisu atau karena sebab lainnya). Jika orang yang dapat berbicara melakukan ijab-qabul dengan isyarat, maka dianggap tidak sah, karena isyarat dianggap kurang meyakinkan. Sementara, Malikiyah dan Hanabilah menganggap sah ijab-qabulnya orang normal yang dilakukan dengan isyarat. Asal isyaratnya dapat dimengerti.
Adapun mengenai ijab-qabul dengan tulisan, para ulama berpendapat bahwa orang normal pun boleh melakukan ijab-qabulnya dengan tulisan. Karena kaidah fiqh menyatakan, "Tulisan sama kedudukannya dengan ucapan. (الكتابة كالخطاب)" Dan jika seseorang bisu tetapi bisa menulis, maka harus diutamakan ia melakukan ijab-qabul dengan tulisan, sebelum ia melakukannya dengan isyarat. Syaratnya, tulisan tersebut harus memenuhi dua kriteria:
  1. Tulisan tersebut harus tahan lama, artinya tidak boleh tulisan tersebut digoreskan pada media air atau udara;
  2. Tulisan tersebut diyakini dibuat oleh yang bersangkutan, dengan dibubuhi tanda tangan.
Untuk akad nikah, para ulama tidak memperbolehkan melakukan ijab-qabul dengan tulisan, sementara kedua pihak (wali dan calon pengantin laki-laki) hadir dalam majelis. Ijab-qabul dengan tulisan baru dibolehkan jika salah satu atau keduanya tidak hadir dalam majelis akad.

Ijab-Qabul dengan Perbuatan (Tanpa Ucapan, Isyarat ataupun Tulisan)
Contoh ijab jenis ini dalam jual beli, pembeli mengambil barang yang dijual lantas memberikan uang sesuai harganya kepada penjual, kemudian penjual menerima uang tersebut. Penjual dan pembeli keduanya tidak mengucapkan kata-kata apapun, juga tanpa ada isyarat ataupun tulisan.

Mengenai jual-beli, sewa-menyewa, gadai, atau hal lainnya selain pernikahan, para ulama berbeda pendapat. Sebagian membolehkan ijab-qabul yang seperti itu, sebagian tidak. Adapun dalam hal pernikahan, para ulama sepakat akan tidak sahnya akad nikah yang dilakukan dengan ijab-qabul seperti ini. Alasannya, pernikahan adalah hal yang riskan yang perlu dijaga kesuciannya, karena berhubungan dengan nasib manusia (khususnya wanita dan anak). Karena itu perlu kehati-hatian. Jadi, tidak bisa dianggap sebagai ijab-qabul yang sah seperti contoh ini, wali memegang tangan anaknya (catin perempuan), lantas ia memegangkan tangan catin laki-laki kepada catin perempuan, kemudian ia melepaskan pegangannya..

Qabul Dinyatakan Sebelum Ijab
Masalah ini muncul agaknya disebabkan karena adanya hadits Nabi saw. yang menceritakan seorang wanita yang mengajukan dirinya untuk dinikahi Nabi saw., tetapi Nabi saw. tidak menerimanya. Kemudian seorang lelaki meminta kepada Nabi saw. untuk dinikahkan oleh beliau kepada wanita tersebut, ia berkata, "Nikahkan saya kepada perempuan itu (زوجنيها).". Lantas Nabi saw. meminta lelaki itu untuk menyediakan mahar, tetapi lelaki tersebut tidak memilikinya. Lelaki itu hanya sanggup untuk membacakan (ayat) Al-Qur'an. Akhirnya Nabi saw. memberi pernyataan bahwa beliau menikahkan lelaki tersebut kepada wanita tadi dengan mahar (pembacaan ayat) Al-Qur'an, dengan ungkapan, "فقد أنكحتكها بما معك من القرأن".
Jika dicermati, pernyataan Nabi saw. menikahkan lelaki tersebut tiada lain adalah ijab. Nabi saw. di sini bertindak sebagai wali hakim (karena beliau adalah sulthan bagi kaum Muslim). Sementara, permintaan lelaki tersebut tentunya disebut sebagai qabul. Masalahnya, qabul lelaki tersebut diungkapkan dalam bentuk amr (perintah yang bermakan do'a)
yang diungkapkan sebelum ijab dari Nabi saw.
Mengenai ini, kebanyakan ahli fiqh, selain Hanafiah, menganggap bahwa akad yang menggunakan bentuk amr adalah boleh, tanpa harus adanya pernyataan ketiga. Seperti contoh hadits di atas, lelaki tadi tidak harus menyatakan lagi qabulnya setelah ijab Nabi saw. tersebut..

"Cek-Gur" (Fauriyah) dalam Ijab-Qabul
Yang dimaksud "cek-gur" (fauriyah) adalah qabul yang dilakukan langsung setelah ijab. Langsung berarti tidak ada jeda antara ijab dan qabul, dan tidak diselingi atau didahului kata/kalimat lain. Mengenai hal ini, jumhur ulama fiqh (Hanafiah, Malikiyah, dan Hanabilah) tidak menjadikan "cek-gur" sebagai syarat ijab-qabul. Alasannya, untuk mengungkapkan qabul (yang berarti persetujuan), seseorang memerlukan berfikir terlebih dahulu (apakah akan setuju atau tidak, yang diistilahkan dengan khiyar majelis). Jika "cek-gur" disyaratkan, tentunya tidak mungkin ada waktu untuk berfikir. Karena itu, Jumhur hanya mengharuskan ijab-qabul dilakukan dalam "satu majelis", walaupun waktu berfikir (untuk qabul) cukup lama. Adanya persyaratan "cek-gur" justeru akan menyulitkan seseorang untuk melakukan qabul.
Sedangkan ulama Syafi'iyah sangat ngotot mensyaratkan "cek-gur" bagi ijab-qabul. Alasannya, khiyar majelis itu bisa dilakukan setelah ijab-qabul, dengan adanya hak fasakh (membatalkan) akad setelah ijab-qabul dilakukan. Walaupun begitu, kubu ini mentolelir adanya jeda yang sejenak. Bahkan, Al-Ramli (salah satu ulama Syafi'iyah) memperbolehkan membaca basmallah, hamdallah, dan shalawat sebelum mengucapkan qabul.
Ijab dan Qabul Dilakukan oleh Satu Orang yang Sama
Kebanyakan ulama Hanafiyah, kecuali Zafar, membolehkan ijab dan qabul dilakukan oleh satu orang yang sama (bi aqid wahid). Karena, walaupun pada kenyataannya satu orang, tetapi dianggap menempati posisi yang berbeda.
Menurut mereka, bolehnya ijab dan qabul dilakukan oleh satu orang yang sama, dalam lima keadaan sebagai berikut:
  1. Seorang kakek yang menikahkan cucu perempuannya (yang tidak punya saudara laki-laki) kepada cucu laki-lakinya yang masih belum dewasa (tetapi sudah mumayyiz) dari anaknya yang berbeda yang telah meninggal. Kakek menempati dua posisi: sebagai wali nikah bagi cucu perempuan dan "wali" (walayah, perwalian akad karena belum dewasa) dari cucu laki-lakinya.
  2. Seseorang yang menjadi wakil untuk wali dan wakil juga untuk calon pengantin laki-laki.
  3. Seseorang akan menikahi sepupunya yang perempuan. Walinya hanya tersisa dirinya, calon pengantin laki-laki (selaku anak paman bagi calon pengantin perempuan).
  4. Seseorang yang menjadi calon pengantin laki-laki, sekaligus wakil dari wali.
  5. Seseorang yang menjadi wali, juga menjadi wakil dari calon pengantin laki-laki.
Sementara Ulama Syafi'iyah hanya membolehkan ijab dan qabul dilakukan oleh satu orang yang sama seperti yang diterangkan pada poin 1) di atas. Itupun dilakukan karena terpaksa, dalam keadaan ketika tidak adanya wali yang lain.

Penutup

Akhirnya, makalah ini ditutup dengan kesimpulan, yang berupa beberapa kristalisasi sebagai berikut:

  1. Akad nikah berbeda dengan akad-akad yang lainnya, karena menyangkut nasib manusia, khususnya wanita dan anak, juga karena nikah merupakan hal yang mesti dijaga kesuciannya salah satu sunnah Rasulullah saw. Sehingga, aturan pelaksanaan ijab-qabulnya pun berbeda dan lebih ketat persyaratannya.
  2. Perbedaan pendapat mengenai berbagai masalah dalam ijab-qabul lebih baik dijadikan alternatif penyelesaian untuk mengayomi selera dan keinginan masyarakat yang berbeda-beda dalam penyelenggaraan ijab-qabul, juga agar menjadi argumentasi untuk lebih mantapnya pelaksanaan tugas penghulu sebagai pelayan masyarakat.
  3. Sebagai aparat negara, jika di lapangan menemui kesulitan karena adanya perbedaan pendapat, sebagai langkah aman, sebaiknya penghulu berpegang kepada pendapat negara, sesuai kaidah, "Jika terjadi perbedaan pendapat, maka pendapat (yang dipegang) adalah pendapat imam. (إذا اختلف فالقول قول الإمام)".

DAFTAR PUSTAKA

A. Djazuli, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam, terj. Tajul Arifin dkk., Kiblat Press, Bandung: 2002
Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, Sa'adiyah Putra, Jakarta: t.th.
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid II, Dar al-Fikr, Beirut: 1983
--------, Fiqh al-Sunnah, jilid VI, Dar al-Bayan, Kuwait: 1968
Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, jilid IV, Dar al-Fikr, Beirut: 1984
--------, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, jilid VII, Dar al-Fikr, Beirut: 1984

 
------------------------------------------------------------------------------------


Disusun oleh Para Penghulu Wilayah Karees Kota Bandung
Disampaikan dalam Rapat Dinas Penghulu Kota Bandung

  © POKJAHULU Kota Bandung 2010

Back to TOP