Peraturan Perundangan Kepenghuluan


Kompilasi Hukum Islam.pdf
221 K   Unduh  
Lamp1Menpan Penghulu2005.xls
69 K    Unduh  
 perbersama_menag_dan_kepala_bkn_nomor_20_tahun_2005_nomor_14a_tahun_2005petunjuk_pelaksanaan_jabatan_fungsional_penghulu_dan_an
1567 K     Unduh  
Perjan_Juknis_Penghulu_n_AK-nya.pdf
268 K   Unduh  
PERMENPAN ttg JabFung Penghulu_AK.pdf
99 K   Unduh  
Perpres732007.pdf
2253 K   Unduh  
PMA 1 TH 1994 PENDAFTARAN NIKAH LUAR NEGERI.docx
17 K   Lihat   Unduh  
PMA 11-REV.doc
531 K   Lihat   Unduh  
PMA 30 TH 2005 WALI HAKIM.docx
23 K   Lihat   Unduh  
PMA 5 2007 TTNG UPT KUA.doc
62 K   Lihat   Unduh  
PMA-11-2007_Pencatatan Nikah.pdf
645 K   Lihat   Unduh  
PP 47 Th 2004 pengganti PP 51 th 2000.pdf
77 K   Lihat   Unduh  
PP 51 TAHUN 2000.pdf
25 K   Lihat   Unduh  
UU 23 TH 2006.doc
38 K   Lihat   Unduh 

IJAB-QABUL DAN PERMASALAHANNYA

IJAB-QABUL DAN PERMASALAHANNYA


Pendahuluan
Puncak dari pelaksanaan akad nikah adalah ijab-qabul (yang merupakan rukun terakhir dari akad nikah). Sah atau tidaknya suatu akad nikah tergantung kepada sah atau tidaknya ijab-qabul yang dilakukan. Karenanya, tidak heran jika untuk melakukan ijab-qabul biasanya penghulu melakukan pengkondisian suasana dengan pembacaan istighfar, syahadat, dan shalawat. Tujuannya agaknya untuk menyiapkan hati, menghadirkan kalbu, dan meluruskan niat, agar ijab-qabul yang akan dilaksanakan dapat berlangsung dengan sempurna sesuai ketentuan syariat.
Langkah penghulu ini, selain taat terhadap juklak dan juknis pelaksanaan akad nikah yang telah dikeluarkan Departemen Agama, tentu juga sebagai tanggung jawab moral sebagai pelayan masyarakat untuk melakukan pelayanan prima. Masalahnya, terkadang penghulu dihadapkan kepada selera dan keinginan masyarakat yang berbeda tentang penyelenggaraan akad, khususnya ijab-qabul, karena berbedanya keyakinan madzhab yang dianut masyarakat.
Makalah ini diharapkan menjadi informasi berharga bagi pelaksanaan tugas di lapangan. Di dalamnya dibahas mengenai masalah-masalah yang biasa timbul atau dimungkinkan timbul mengenai ijab-qabul. Antara lain masalah shighat (yang meliputi tiga masalah); masalah qabul yang dinyatakan sebelum ijab; masalah "cek-gur" (fauriyah); dan masalah ijab dan qabul yang dilakukan oleh satu orang yang sama. Namun sebelumnya diurai terlebih dulu apa akad dan apa ijab-qabul.

Apa Akad dan Apa Ijab-Qabul

Secara bahasa, akad (العقد) berarti mengikat ujung suatu benda dengan ujung yang lainnya (الربط بين أطراف الشيء ) . Dalam konteks kehidupan, bermakna melakukan perikatan dengan orang lain (ارتبط مع شخص أخر).
Definisi Akad ini masih bermakna umum, karena melingkupi semua perikatan yang dilakukan manusia dengan sesamanya, yang dipilah menjadi dua: pertama, perikatan yang berupa wakaf, thalak, sumpah, dan yang sejenisnya, yang pelaksanaannya cukup dikemukakan maksudnya oleh satu pihak saja; kedua, perikatan yang berbentuk jual beli, sewa-menyewa, gadai, nikah, dan sebagainya, yang mengharuskan kedua belah pihak yang melakukan perikatan mengemukakan maksudnya. Perikatan kelompok pertama dinamai dengan tasharruf, sedangkan perikatan yang kedua dikenal dengan العقد
(tapi) dalam makna yang khusus.
    Aqad dalam makna yang khusus ini didefinisikan dengan:

ارتباط إيجاب بقبول على وجه مشروع يثبت أثره في محله

"Tersimpulnya ijab dan qabul dalam perkara yang dibenarkan syariat yang berkonsekwensi tetapnya akibat sesuai yang dikehendaki (dalam ijab-qabul)"

    Ijab dan qabul pada intinya merupakan perbuatan yang menunjukkan ridlonya kedua pihak yang melakukan akad (الفعل الدال على الرضا بالتعاقد). Dalam mendefinisikan ijab dan qabul, para ulama sedikit berbeda pendapat.
Ijab oleh ulama Hanafiyah didefinisikan sebagai:

إثبات الفعل الخاص الدال على الرضا الواقع أولا من كلام أحد المتعاقدين أو ما يقوم مقامه

"Perbuatan tertentu yang dilakukan untuk menunjukkan keridloan, yang dinyatakan pertama kali dari salah satu pihak yang melakukan akad atau orang yang mewakilinya."
Adapun qabul adalah:

ما ذكر ثانيا من كلام أحد المتعاقدين دالا على موافقه ورضاه بما أوجبه الأول

"Pernyataan kedua yang diungkapkan satu pihak (lainnya) yang melakukan akad, yang menunjukkan persetujuan dan keridloannya, sebagai jawaban dari pernyataan (ijab) pihak pertama."

Definisi ulama Hanafiyah tersebut jelas mengharuskan bahwa ijab harus dinyatakan terlebih dahulu sebelum qabul; dan qabul tidak boleh mendahului ijab.
Sedangkan ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa ijab merupakan pernyataan dari orang yang mengalihkan hak, walaupun dilakukan belakangan (ما صدر ممن يكون منه التمليك وإن جاء مأخرا ); dan qabul adalah pernyataan dari orang yang diberi hak milik, walaupun dilakukan duluan (ما صدر ممن يصير له الملك وإن صدر أولا) .

    Dari definisi ijab dan qabul ini saja menimbulkan permasalahan, apalagi hal-hal lainnya yang lebih jauh.. Karenanya, ayo kita bawa masalah-masalah tersebut dalam poin bahasan selanjutnya.  

Masalah-Masalah Ijab-Qabul

Shighat Ijab-Qabul
Shighat adalah ungkapan orang yang melakukan akad untuk menunjukkan keinginan dalam hatinya yang tersembunyi. Pengungkapan kehendak hati yang tersembunyi tersebut dilakukan melalui ucapan atau perbuatan lain yang menempati posisi sama dengan ucapan seperti isyarat atau tulisan. Dengan definisi tersebut dapat digarisbawahi bahwa pada normalnya, shighat ijab-qabul harus diungkapkan dengan ucapan, tetapi jika tidak bisa melakukannya dengan ucapan, dapat menggunakan ungkapan lainnya seperti isyarat dan tulisan.

Ijab-Qabul dengan Ucapan
Ucapan merupakan alat utama untuk mengungkapkan maksud batin yang tersembunyi, yang paling banyak dipakai dalam akad karena kemudahannya, juga karena kekuatan dalalah dan faktor kejelasannya. Dengan kata-kata, maksud batin yang tersembunyi lebih mudah diungkapkan dengan jelas dan lebih mudah difahami, daripada menggunakan isyarat dan tulisan.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ucapan tersebut dapat menggunakan bahasa apa saja yang dimengerti oleh kedua pihak yang berakad. Hanya sedikit ulama yang mengharuskan ijab-qabul nikah dengan Bahasa Arab. Di antara ulama tersebut adalah Ibn Qudamah (seorang ulama Syafi'iyah), ia berpendapat, jika seseorang mampu berbahasa Arab tetapi kemudian tidak menggunakan Bahasa Arab dalam ijab-qabul nikah, maka akadnya tidak sah. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh ulama Hanabilah.
Pendapat ini timbul dari keyakinan bahwa akad nikah merupakan ibadah seperti halnya shalat. Karena ibadah, maka ijab-qabulnya harus menggunakan Bahasa Arab seperti yang digunakan Rasulullah saw., sebagaimana kalimat takbir
(الله أكبر)
dalam shalat tidak bisa mengunakan bahasa Indonesia (umpamanya): "Allah Maha Besar."
Jadi, masalahnya terletak pada apakah akad nikah itu merupakan ibadah mahdhah seperti shalat, atau seperti akad-akad layaknya jual-beli, gadai, sewa-menyewa, dan yang sejenisnya.
Masalah kemudian merembet kepada teknis penggunaan kata-katanya. Para ulama berbeda pikiran dalam kata yang harus digunakan dalam akad nikah. Ulama Hanafiyah membolehkan kata apa saja yang menunjukkan makna untuk mengalihkan (hak) kepemilikan, seperti kata "menikahkan" (tazwij dan nikah), atau kata "memindahkan kepemilikan" (tamlik), "memberikan" (hibah), atau "menshadaqahkan", dengan syarat niatnya harus nikah disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud kata tersebut adalah nikah, seperti memberikan mas kawinnya.
Sedangkan Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah memberikan syarat untuk sahnya akad nikah dengan harus digunakannya kata "nikah" (zawaja dan nakaha) saja dan semua kata yang berakar (yang dibentuk) darinya.
Selanjutnya masalah diteruskan mengenai bentuk kata yang digunakan, apakah menggunakan bentuk lampau, bentuk sedang dan akanan (mudhari atau present dan future tense), bentuk pertanyaan, ataupun bentuk perintah.
Para ulama sepakat mengenai penggunaan bentuk lampau (fi'il madhi), seperti أنكحتك atau زوجتك, karena bentuk ini sudah biasa digunakan untuk maksud sedang (melakukan) dan bentuk yang digunakan Rasulullah saw. ketika menikahkan. Mereka juga bersepakat bolehnya menggunakan bentuk fi'il mudhari (yang mengandung arti sedang dan akan), seperti أنكحك atau أزوجك dengan syarat harus ada niat bahwa yang dikehendaki adalah arti sedang. Tetapi tidak sah jika ada penambahan huruf/kata س dan سوف , yang sudah pasti menunjukkan makna akan. Tidak sah juga akad yang ijab-qabulnya menggunakan bentuk pertanyaan. Alasannya, bentuk pertanyaan menunjukan makna akan.
Pada intinya, ijab-qabul yang bermakna akan adalah tidak sah, seperti ucapan wali dalam akad nikah, "Saya akan nikahkan engkau besok ...," atau ucapan calon pengantin laki-laki, "Saya akan terima menikah satu bulan lagi ...."
Mengenai penggunaan bentuk perintah akan terbahas pada masalah "Qabul Dinyatakan Sebelum Ijab"

Ijab-Qabul dengan Isyarat dan Tulisan
Madzhab Syafi'iyah dan Hanafiah hanya membolehkan ijab-qabul dilakukan dengan isyarat bagi orang yang tidak bisa berbicara (karena bisu atau karena sebab lainnya). Jika orang yang dapat berbicara melakukan ijab-qabul dengan isyarat, maka dianggap tidak sah, karena isyarat dianggap kurang meyakinkan. Sementara, Malikiyah dan Hanabilah menganggap sah ijab-qabulnya orang normal yang dilakukan dengan isyarat. Asal isyaratnya dapat dimengerti.
Adapun mengenai ijab-qabul dengan tulisan, para ulama berpendapat bahwa orang normal pun boleh melakukan ijab-qabulnya dengan tulisan. Karena kaidah fiqh menyatakan, "Tulisan sama kedudukannya dengan ucapan. (الكتابة كالخطاب)" Dan jika seseorang bisu tetapi bisa menulis, maka harus diutamakan ia melakukan ijab-qabul dengan tulisan, sebelum ia melakukannya dengan isyarat. Syaratnya, tulisan tersebut harus memenuhi dua kriteria:
  1. Tulisan tersebut harus tahan lama, artinya tidak boleh tulisan tersebut digoreskan pada media air atau udara;
  2. Tulisan tersebut diyakini dibuat oleh yang bersangkutan, dengan dibubuhi tanda tangan.
Untuk akad nikah, para ulama tidak memperbolehkan melakukan ijab-qabul dengan tulisan, sementara kedua pihak (wali dan calon pengantin laki-laki) hadir dalam majelis. Ijab-qabul dengan tulisan baru dibolehkan jika salah satu atau keduanya tidak hadir dalam majelis akad.

Ijab-Qabul dengan Perbuatan (Tanpa Ucapan, Isyarat ataupun Tulisan)
Contoh ijab jenis ini dalam jual beli, pembeli mengambil barang yang dijual lantas memberikan uang sesuai harganya kepada penjual, kemudian penjual menerima uang tersebut. Penjual dan pembeli keduanya tidak mengucapkan kata-kata apapun, juga tanpa ada isyarat ataupun tulisan.

Mengenai jual-beli, sewa-menyewa, gadai, atau hal lainnya selain pernikahan, para ulama berbeda pendapat. Sebagian membolehkan ijab-qabul yang seperti itu, sebagian tidak. Adapun dalam hal pernikahan, para ulama sepakat akan tidak sahnya akad nikah yang dilakukan dengan ijab-qabul seperti ini. Alasannya, pernikahan adalah hal yang riskan yang perlu dijaga kesuciannya, karena berhubungan dengan nasib manusia (khususnya wanita dan anak). Karena itu perlu kehati-hatian. Jadi, tidak bisa dianggap sebagai ijab-qabul yang sah seperti contoh ini, wali memegang tangan anaknya (catin perempuan), lantas ia memegangkan tangan catin laki-laki kepada catin perempuan, kemudian ia melepaskan pegangannya..

Qabul Dinyatakan Sebelum Ijab
Masalah ini muncul agaknya disebabkan karena adanya hadits Nabi saw. yang menceritakan seorang wanita yang mengajukan dirinya untuk dinikahi Nabi saw., tetapi Nabi saw. tidak menerimanya. Kemudian seorang lelaki meminta kepada Nabi saw. untuk dinikahkan oleh beliau kepada wanita tersebut, ia berkata, "Nikahkan saya kepada perempuan itu (زوجنيها).". Lantas Nabi saw. meminta lelaki itu untuk menyediakan mahar, tetapi lelaki tersebut tidak memilikinya. Lelaki itu hanya sanggup untuk membacakan (ayat) Al-Qur'an. Akhirnya Nabi saw. memberi pernyataan bahwa beliau menikahkan lelaki tersebut kepada wanita tadi dengan mahar (pembacaan ayat) Al-Qur'an, dengan ungkapan, "فقد أنكحتكها بما معك من القرأن".
Jika dicermati, pernyataan Nabi saw. menikahkan lelaki tersebut tiada lain adalah ijab. Nabi saw. di sini bertindak sebagai wali hakim (karena beliau adalah sulthan bagi kaum Muslim). Sementara, permintaan lelaki tersebut tentunya disebut sebagai qabul. Masalahnya, qabul lelaki tersebut diungkapkan dalam bentuk amr (perintah yang bermakan do'a)
yang diungkapkan sebelum ijab dari Nabi saw.
Mengenai ini, kebanyakan ahli fiqh, selain Hanafiah, menganggap bahwa akad yang menggunakan bentuk amr adalah boleh, tanpa harus adanya pernyataan ketiga. Seperti contoh hadits di atas, lelaki tadi tidak harus menyatakan lagi qabulnya setelah ijab Nabi saw. tersebut..

"Cek-Gur" (Fauriyah) dalam Ijab-Qabul
Yang dimaksud "cek-gur" (fauriyah) adalah qabul yang dilakukan langsung setelah ijab. Langsung berarti tidak ada jeda antara ijab dan qabul, dan tidak diselingi atau didahului kata/kalimat lain. Mengenai hal ini, jumhur ulama fiqh (Hanafiah, Malikiyah, dan Hanabilah) tidak menjadikan "cek-gur" sebagai syarat ijab-qabul. Alasannya, untuk mengungkapkan qabul (yang berarti persetujuan), seseorang memerlukan berfikir terlebih dahulu (apakah akan setuju atau tidak, yang diistilahkan dengan khiyar majelis). Jika "cek-gur" disyaratkan, tentunya tidak mungkin ada waktu untuk berfikir. Karena itu, Jumhur hanya mengharuskan ijab-qabul dilakukan dalam "satu majelis", walaupun waktu berfikir (untuk qabul) cukup lama. Adanya persyaratan "cek-gur" justeru akan menyulitkan seseorang untuk melakukan qabul.
Sedangkan ulama Syafi'iyah sangat ngotot mensyaratkan "cek-gur" bagi ijab-qabul. Alasannya, khiyar majelis itu bisa dilakukan setelah ijab-qabul, dengan adanya hak fasakh (membatalkan) akad setelah ijab-qabul dilakukan. Walaupun begitu, kubu ini mentolelir adanya jeda yang sejenak. Bahkan, Al-Ramli (salah satu ulama Syafi'iyah) memperbolehkan membaca basmallah, hamdallah, dan shalawat sebelum mengucapkan qabul.
Ijab dan Qabul Dilakukan oleh Satu Orang yang Sama
Kebanyakan ulama Hanafiyah, kecuali Zafar, membolehkan ijab dan qabul dilakukan oleh satu orang yang sama (bi aqid wahid). Karena, walaupun pada kenyataannya satu orang, tetapi dianggap menempati posisi yang berbeda.
Menurut mereka, bolehnya ijab dan qabul dilakukan oleh satu orang yang sama, dalam lima keadaan sebagai berikut:
  1. Seorang kakek yang menikahkan cucu perempuannya (yang tidak punya saudara laki-laki) kepada cucu laki-lakinya yang masih belum dewasa (tetapi sudah mumayyiz) dari anaknya yang berbeda yang telah meninggal. Kakek menempati dua posisi: sebagai wali nikah bagi cucu perempuan dan "wali" (walayah, perwalian akad karena belum dewasa) dari cucu laki-lakinya.
  2. Seseorang yang menjadi wakil untuk wali dan wakil juga untuk calon pengantin laki-laki.
  3. Seseorang akan menikahi sepupunya yang perempuan. Walinya hanya tersisa dirinya, calon pengantin laki-laki (selaku anak paman bagi calon pengantin perempuan).
  4. Seseorang yang menjadi calon pengantin laki-laki, sekaligus wakil dari wali.
  5. Seseorang yang menjadi wali, juga menjadi wakil dari calon pengantin laki-laki.
Sementara Ulama Syafi'iyah hanya membolehkan ijab dan qabul dilakukan oleh satu orang yang sama seperti yang diterangkan pada poin 1) di atas. Itupun dilakukan karena terpaksa, dalam keadaan ketika tidak adanya wali yang lain.

Penutup

Akhirnya, makalah ini ditutup dengan kesimpulan, yang berupa beberapa kristalisasi sebagai berikut:

  1. Akad nikah berbeda dengan akad-akad yang lainnya, karena menyangkut nasib manusia, khususnya wanita dan anak, juga karena nikah merupakan hal yang mesti dijaga kesuciannya salah satu sunnah Rasulullah saw. Sehingga, aturan pelaksanaan ijab-qabulnya pun berbeda dan lebih ketat persyaratannya.
  2. Perbedaan pendapat mengenai berbagai masalah dalam ijab-qabul lebih baik dijadikan alternatif penyelesaian untuk mengayomi selera dan keinginan masyarakat yang berbeda-beda dalam penyelenggaraan ijab-qabul, juga agar menjadi argumentasi untuk lebih mantapnya pelaksanaan tugas penghulu sebagai pelayan masyarakat.
  3. Sebagai aparat negara, jika di lapangan menemui kesulitan karena adanya perbedaan pendapat, sebagai langkah aman, sebaiknya penghulu berpegang kepada pendapat negara, sesuai kaidah, "Jika terjadi perbedaan pendapat, maka pendapat (yang dipegang) adalah pendapat imam. (إذا اختلف فالقول قول الإمام)".

DAFTAR PUSTAKA

A. Djazuli, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam, terj. Tajul Arifin dkk., Kiblat Press, Bandung: 2002
Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, Sa'adiyah Putra, Jakarta: t.th.
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid II, Dar al-Fikr, Beirut: 1983
--------, Fiqh al-Sunnah, jilid VI, Dar al-Bayan, Kuwait: 1968
Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, jilid IV, Dar al-Fikr, Beirut: 1984
--------, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, jilid VII, Dar al-Fikr, Beirut: 1984

 
------------------------------------------------------------------------------------


Disusun oleh Para Penghulu Wilayah Karees Kota Bandung
Disampaikan dalam Rapat Dinas Penghulu Kota Bandung

INTIQAL WALI NIKAH


INTIQAL WALI NIKAH

  1. Pendahuluan
Akad pernikahan merupakan akad yang istimewa daripada akad-akad lainnya seperti jual-beli atau gadai. Akad nikah dianggap oleh ulama sebagai hal yang harus ditangani dengan hati-hati (aqd khatir) karena akan berimplikasi kepada anak dan hal-hal lain yang ditimbulkan karena pernikahan seperti hak warisan.
Salah satu unsur yang paling utama dari akad nikah adalah wali nikah. Hanya wali nikah yang memiliki hak untuk menikahkan wanita yang berada dalam perwaliannya. Hak ini diberikan Islam kepada wali nikah, karena wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Jika wanita menikahkan dirinya sendiri, maka berarti ia telah berzina.
Tetapi dalam realitanya, wali nikah yang berhak menikahkan terkadang kehilangan hak perwaliannya karena hal-hal tertentu, yang mengharuskan hak walinya berpindah kepada wali nikah lain yang dalam hierarki berada pada ring yang lebih jauh daripadanya. Perpindahan hak wali nikah ini dalam term fiqh dikenal dengan intiqal wali nikah.
Makalah ini berupaya menyajikan informasi mengenai intiqal wali nikah baik dari jenis ataupun sebab-sebabnya, serta pilihan antara intiqal atau mewakilkan perwalian (tawkil). Untuk menuju komprehensifnya pembahasan, sebelumnya dideskripsikan terlebih dahulu mengenai wali nikah, yang meliputi posisinya dalam pernikahan, syarat-syarat, serta urutan tertibnya.
  1. Wali Nikah
    1. Arti Wali dan Sebab Disyariatkannya
Secara bahasa, wali bisa berarti rasa cinta (mahabbah) dan pertolongan (nushrah), bisa juga berarti kekuasaan (sulthah) dan kekuatan (qudrah). Ini berarti, seorang wali adalah orang yang menolong atau orang yang memiliki kekuasaan. Sedangkan menurut istilah, (seseorang yang memiliki) kekuasaan untuk melangsungkan suatu perikatan/akad tanpa harus adanya persetujuan dari orang (yang di bawah perwaliannya)
Kenapa harus ada wali, apa sebabnya?
Menurut Al-Zuhaily, sebab disyariatkannya wali bagi pernikahan adalah untuk menjaga kemashlahatan wanita dan menjaga agar hak-hak si wanita tetap terlindungi, karena (sifat) lemah yang dimiliki si wanita. Maksudnya, karena lemahnya (baik lemah fisik atau lemah akal) si wanita, bisa jadi si wanita salah dalam memilih suami atau menentukan maskawinnya. Karena itu, wali "mengambil" kekuasaan darinya untuk menikahkannya kepada orang yang dikehendaki wali untuk kepentingan si wanita, bukan untuk kepentingan pribadi wali.
  1. Posisi Wali dalam Pernikahan
Wali adalah salah satu rukun (akad) nikah, selain calon pengantin laki-laki, dua saksi, dan ijab-qabul. Pernikahan harus dengan wali, apabila dilangsungkan pernikahan tidak dengan wali atau yang menjadi wali bukan yang berhak, maka pernikahan tersebut tidak sah, batal..
Memang ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa wali bukan rukun (akad) nikah: wali (yang berhak menikahkan) tidak perlu hadir dalam akad nikah, asal wali telah mengizinkannya. Tetapi pendapat tersebut sulit untuk diaplikasikan, karena tidak mungkin (dan dilarang) wanita menikahkan dirinya sendiri. Dalam prakteknya, tetap si wanita harus mengangkat terlebih dahulu seseorang untuk menikahkan dirinya, dan itu adalah wali.
Jadi, bagaimanapun kondisinya, wali harus bin wajib ada (hadir) dalam (akad) nikah, dari jenis apapun walinya, seperti yang diterangkan di bawah ini.
  1. Jenis Wali Nikah
    1. Menurut Kewenanganya
      1. Wali Mujbir
Menurut madzhab Syafi'iy, wali mujbir adalah wali yang berhak menikahkan wanita perawan, baik perawan tersebut masih kecil ataupun sudah besar, walaupun tidak ada persetujuan dari perawan tersebut. Walaupun begitu, wali sangat dianjurkan (mustahab) untuk meminta persetujuannya terlebih dahulu. Yang termasuk wali mujbir menurut Syafi'iyah adalah ayah dan kakek.
Ini berarti, wali selain ayah dan kakek jika akan memilihkan calon suami atau menetapkan mahar bagi wanita perawan harus terlebih dahulu meminta persetujuannya, karena bukan termasuk wali mujbir.
Dalil yang diusung Syafi'iyah adalah hadits riwayat Daruquthny sebagai berikut:
الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر يزوجها أبوه
"Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya; (sedangkan) perawan, dinikahkan oleh oleh ayahnya."
Juga hadits riwayat Muslim di bawah ini:
والبكر يستأمرها أبوها وإذنها سكوتها
"Perawan diaturkan (urusannya) oleh ayahnya, idzinnya (persetujuannya) adalah diamnya."
Berbeda dengan Syafi'iyah, Hanafiyah berpendapat bahwa wali mujbir adalah semua wali—baik karena hubungan darah, karena kepemilikan (hamba sahaya), karena memerdekakan, karena muwalah, dan karena imamah—jika menikahkan wanita yang masih kecil, tidak memandang wanita tersebut perawan atau janda.
Mirip dengan pendapat Hanafiyah, Madzhab Hanbaly juga berpenapat bahwa wali mujbir adalah bagi wanita yang masih kecil. Hanya saja, wali yang termasuk mujbir hanya ayah, wushy, dan hakim.
Dalil yang dijadikan landasan bagi Hanafiyah dan Hanabilah adalah hadits yang senada dengan hadits yang diusung Syafi'iyah, namun berbeda dalam memahaminya. Jika Syafi'iyah memahami bahwa ayah (termasuk kakek) memiliki hak menikahkan perawan tanpa harus ditanya persetujuannya terlebih dahulu, Hanafiyah dan Hanabilah memahami bahwa perawan pun jika sudah besar harus ditanya persetujuannya terlebih dahulu, yang tanda persetujuannya adalah diam, sedangkan janda adalah dengan ungkapan lisannya.
Yang perlu dicatat, wali mujbir dalam fiqh Indonesia, yang berbentuk perundang-undangan, tidak lagi diakui. Calon pengantin wanita, bagaimanapun keadaannya harus ditanya persetujuannya untuk menikah dengan calon mempelai laki-laki. Ada atau tidak adanya persetujuan calon pengantin wanita harus dituliskan dalam Daftar Pemeriksaan Nikah (model NB).
  1. Wali Mukhayyir
Menurut madzhab Syafi'iy, semua wali (termasuk ayah dan kakek) adalah wali mukhayyir bagi janda, yang harus ditanya terlebih dahulu persetujuan dari janda tersebut, ketika wali memilihkan calon suami atau maskawin untuknya. Jika janda tersebut masih kecil, belum akil-baligh, maka wali tidak boleh menikahkannya sehingga ia sudah akil-baligh.
Sementara, yang dimaksud wali mukhayyir oleh Hanafiyah dan Hanabilah adalah semua wali yang disebutkan di atas, ketika menikahkan wanita yang sudah dewasa, tanpa memandang perawan atau jandanya.
  1. Menurut Garis Keturunan dan Sebab Lain
Banyak jenis wali yang dimunculkan para ulama, baik yang berhubungan dengan keturunan/nasab ataupun dengan sebab lainnya, antara lain: wali nasab, wali karena membeli hamba sahaya (wali milk), wali karena memerdekakan hamba sahaya (wali mu'tiq), wali karena wasiat (wali wusha), wali karena perjanjian tertentu (wali walayah), wali hakim, dan wali muhakkam. Namun, yang disinggung dalam fiqh Indonesia hanya tiga: (1) wali nasab, (2) wali hakim, dan (3) wali muhakkam.
Wali nasab adalah pria beragama Islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut hukum Islam, bukan dari garis keturunan (rahim) ibu (dzawil arham).
Wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai Wali Nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali. Definisi tersebut perlu dikritisi, terutama ungkapan "bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali". Lebih tepat kiranya jika ungkapan tersebut diubah menjadi "bagi calon mempelai wanita yang karena hal-hal tertentu yang menurut peraturan mengharuskan menikah menggunakan wali hakim".
Wali Muhakkam adalah seorang yang diangkat oleh kedua calon suami isteri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
  1. Syarat Wali Nikah
Di antara syarat wali nikah yang disepakati (sebagian) ulama adalah, (1) ahliyah yang sempurna, yang meliputi baligh, berakal, dan merdeka; (2) muslim; (3) laki-laki; (4) adil; dan (5) rusyd, atau mursyid.
Adil yang dimaksud ialah sikap istiqamah (berpegang teguh) pada agama, dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya, serta menghindari dosa-dosa besar seperti berzina, meminum khamr, durhaka kepada orang tua, dan dosa besar lainnya, dengan tanpa memandang sepele dosa kecil.
Adapun sifat rusyd atau mursyid, menurut Hanabilah adalah mengetahui kufu (kesepadanan antara si wanita dengan calon suami) dan kemashlahatan nikah. Sedangkan menurut Syafi'iyah adalah tidak memiliki sifat menghambur-hamburkan (tabdzir) harta.
Malikiyah memberi tambahan dua syarat: (1) wali tidak sedang melaksanakan haji atau umrah; dan (2) tidak dalam keadaan dipaksa.
Kompilasi Hukum Islam yang merupakan fiqh Indonesia yang diinstruksikan presiden untuk dijadikan acuan, pada pasal 20 ayat (1) hanya memberikan tiga syarat bagi wali nikah, yakni: (1) muslim, (2) akil, dan (3) baligh. Kemudian, Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji pada tahun 2000 juga menerbitkan Pedoman Fiqh Munakahat, yang juga mengajukan serentetan syarat bagi wali nikah, yaitu:
  1. islam;
  2. baligh;
  3. berakal;
  4. tidak dipaksa;
  5. laki-laki;
  6. adil;
  7. tidak sedang ihram haji;
  8. tidak dicabut haknya dalam menguasai harta; dan
  9. tidak rusak pikiranyna karena tua atau sebagainya.
  1. Tertib Urutan Wali Nikah
Tidak ditemukan ayat Alquran ataupun hadits Nabi saw. yang memberi penjelasan langsung mengenai tertib urutan wali. Yang ada hanya pendapat shahabat.
Tertib urutan (wali) nikah pada dasarnya sama dengan tertib urutan dalam warisan. Tetapi para ulama berbeda penapat mengenai posisi kakek dan anak.. Sebagian ulama mengutamakan kakek, yang lainnya lebih mengunggulkan anak.
  1. Menurut Madzhab Fiqh
    1. Menurut Hanafiyah
      1. anak, cucu, ke bawah;
      2. ayah, kakek, ke atas;
      3. saudara kandung, saudara seayah, anak keduanya, ke bawah;
      4. paman sekandung, paman seayah, anak keduanya, ke bawah;
      5. orang yang memerdekakan;
      6. kerabat lainnya (al-usbah al-nasabiyah); dan
      7. sulthan atau wakilnya.
    2. Menurut Malikiyah
      1. anak, cucu, ke bawah;
      2. ayah;
      3. saudara kandung, saudara seayah, anak saudara kandung, anak saudara seayah
      4. kakek;
      5. paman, anak paman (dengan mendahulukan sekandung daripada yang lainnya);
      6. ayah kakek;
      7. paman seayah, anak paman seayah;
      8. paman kakek, anak paman kakek;
      9. orang yang memerdekakan, keturunannya;
      10. orang yang mengurus dan mendidik wanita dari kecil hingga akil-baligh;
      11. hakim; dan
      12. semua muslim (jika urutan di atas tidak ada).
    3. Menurut Syafi'iyah
      1. ayah, kakek, ke atas;
      2. saudara sekandung, saudara seayah, anak saudara sekandung, anak saudara seayah
      3. paman;
      4. keturunan lainnya (seperti hukum waris);
      5. orang yang memerdekakan, keturunannya; dan
      6. sulthan.
    4. Menurut Hanabilah
      1. ayah;
      2. kakek, ke atas;
      3. anak, cucu, ke bawah;
      4. saudara kandung;
      5. saudara seayah;
      6. anak saudara, ke bawah;
      7. paman sekandung, anak paman, ke bawah;
      8. paman seayah, ke bawah;
      9. orang yang memerdekakan; dan
      10. sulthan.
  1. Menurut Peraturan Perundang-undangan
Kompilasi Hukum Islam pada pasal 21 ayat (1) membagi urutan kedudukan wali nikah dengan empat kelompok. Kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lainnya, yaitu:
  1. kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya;
  2. kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka;
  3. kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka;
  4. kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
Adapun menurut Pedoman Fiqh Munakahat, urutan wali adalah:

  1. ayah;
  2. kakek (ayahnya ayah);
  3. saudara laki-laki kandung;
  4. saudara laki-laki seayah;
  5. anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung;
  6. saudara laki-laki dari saudara laki-laki seayah;
  7. saudara ayah (paman) kandung;
  8. saudara ayah (paman) seayah;
  9. anak laki-laki paman kandung;
  10. anak laki-laki paman seayah;
  11. wali hakim
  1. Jenis dan Sebab Intiqal Wali Nikah
    1. Dari Wali Aqrab ke Wali Ab'ad
Menurut jumhur ulama, jika wali ab'ad menikahkan wanita padahal masih ada wali aqrab (yang urutannya lebih dekat), maka akad nikahnya tidak sah. Perpindahan dari wali aqrab ke wali ab'ad hanya dapat terjadi karena keadaan wali aqrab seperti di bawah ini:
  1. ia adalah hamba sahaya;
  2. gila;
  3. bodoh (kurang akal);
  4. kafir; dan
  5. sedang ihram (mengerjakan haji).
Pasal 22 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dua sebab bergesernya wali nikah dari aqrab ke ab'ad, yaitu:
  1. Jika tidak memenuhi syarat-syarat sebagai wali nikah; dan
  2. Jika wali nikah menderita tuna wicara, tuna rungu, atau sudah udzur.
Menurut pendapat Hanafiyah, jika wanita dinikahkan oleh wali ab'adnya, padahal ada wali aqrab, maka sahnya akad nikah tergantung ada atau tidaknya izin dari wali aqrabnya itu. Jika wali aqrabnya mengizinkan, maka akad nikah sah, jika ia tidak mengizinkan, maka akad nikah batal. Tetapi, jika wali aqrabnya tersebut masih kecil atau gila, maka perwalian berpindah kepada wali ab'adnya.
Menurut Malikiyah, jika wali ab'ad menikahkan wanita, padahal wali aqrabnya masih ada, maka akad pernikahannya tetap sah, asal wanita tersebut berkenan, setuju.
  1. Dari Wali Nasab ke Wali Hakim
Pada asalnya, wali hakim berfungsi sebagai penyeimbang. Wali hakim digunakan ketika tidak ada lagi wali nasab. Dalam hadits Nabi saw., perpindahan dari wali nasab ke wali hakim didasarkan pada adanya perselisihan antara para wali, seperti dipahami dari hadits dari Aisyah di bawah ini:

أيما امرأة نكحت يغير إذن وليها فنكاحها باطل باطل باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن استجروا فالسلطان ولي لمن لا ولي لها (أخرجه الأربعة إلا النسائى وصححه أبو عوانة وابن حبان والحاكم)
"Wanita apapun yang menikah tanpa idzin walinya, maka nikahnya batal, batal, batal. Jika suami telah menggaulinya, maka wanita tersebut berhak atas maskawin sebagai penghalal kemaluannya. Jika para wali tersebut berselisih, maka shulthan menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali (karena berselisih)."
(Diriwayatkan oleh Imam Empat kecuali Al-Nasa'iy. Abu Awanah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim menilai hadits ini shahih)
Pasal 2 ayat (1) PMA Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim menyebutkan sebab-sebab perpindahan dari wali nasab ke wali hakim, antara lain:
  1. tidak mempunyai wali nasab yang berhak
  2. wali nasabnya tidak memenuhi syarat;
  3. wali nasabnya mafqud;
  4. wali nasabnya berhalangan hadir;
  5. wali nasabnya adhal.
Kompilasi Hukum Islam pasal 23 ayat (1) juga menyebutkan sebab-sebab yang senada dengan PMA Nomor 2 tahun 1987 di atas, hanya berbeda sedikit redaksinya, yaitu, "Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tiak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan."
Sebab-sebab yang lebih rinci lagi dikemukakan Pedoman Fiqh Munakahat dari Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, yaitu:
  1. karena tidak mempunyai wali nasab sama sekali, atau
  2. walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya, atau
  3. wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada, atau
  4. wali berada di tempat jaraknya sejauh masafatul qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan sholat qasar) yaitu 92,5 km, atau
  5. wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai, atau
  6. wali adhal, artinya wali tidak bersedia atau menolak untuk menikahkan, atau
  7. wali sedang melakukan ibadah haji/umrah.
    Maka yangberhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali.
Ada satu sebab lagi yang menyebabkan intiqal dari nasab ke hakim. Sebab tersebut adalah anak hasil di luar nikah (anak tidak sah). Menurut pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempnyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. KHI pasal 100 lebih menegaskan lagi bahwa anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Karena tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, maka wanita tersebut tidak memiliki seorang wali nasab pun, karena barisan wali nasab adalah dari garis ayah. Oleh sebab itu, maka perwaliannya berpindah kepada wali hakim.
  1. Dari Wali Hakim ke Wali Muhakkam
Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal di tempat itu tidak ada wali hakim, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakam. Caranya ialah kedua calon suami-isteri mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang hukum-hukum untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka.
  1. Intiqal karena Wali Nikah Tidak Memenuhi Syarat
Sub bahasan ini sengaja dimajukan karena mengandung masalah yang menarik. Masalahnya ada dua: (1) intiqal karena wali nikah tidak memenuhi syarat menjadi sebab intiqal dari wali aqrab ke wali ab'ad, juga menjadi sebab intiqal dari wali nasab ke wali hakim; (2) bagaimana teknis menentukan adil atau tidaknya seorang wali
Jika seorang wali tidak beragama Islam, yang lebih tepat apakah intiqal ke wali ab'ad ataukah ke wali hakim?
Secara konsep dasar perwalian nikah sama dengan warisan. Karena dalam warisan, jika ahli waris tidak beragama Islam, maka bagian waisannya berpindah kepada ahli waris lainnya. Jika konsep dasar tersebut dipertahankan, tentunya perwalian karena wali tidak beragama Islam, juga berpindah kepada wali ab'ad, bukan kepada hakim.
Mengenai menilai adil atau tidaknya wali nikah, secara teknis sulit untuk dilakukan, karena lazimnya penhulu hanya bertemu dengan wali nikah sekali atau dua kali: ketika menerima pemberitahuan kehendak nikah dan ketika akad nikah. Sementara, untuk menyimpulkan kualitas adil dalam pengertian berpegang teguh kepada agama dengan melaksanakan kewajibannya dan meninggalkan dosa-dosa besar dan tidak menganggap remeh dosa kecil, memerlukan penelitian mendalam, dengan melihat hidup keseharian wali nikah.
Bagaimana jika diketahui bahwa wali memang sering tidak melakukan sebagian (saja) kewajiban agama, seperti hanya melakukan Shalat Jumat saja; atau wali yang selalu melaksanakan shalat, tetapi nyandu minuman keras dan berzina. Apakah hak perwaliannya berpindah ke wali ab'ad?

  1. Opsi Antara Intiqal atau Tawkil
Masalah berikutnya adalah, jika intiqal bukan diakibatkan oleh karena hilangnya hak perwalian, seperti karena wali jauh atau dipenjara, langkah yang paling baik apakah langsung dilakukan intiqal atau diusahakan dengan membuat tawkil wali?
  1. Penutup
Demikianlah sedikit informasi mengenai intiqal wali nikah, dengan menyisakan beberapa catatan sebagai berikut:
  1. Bagi penghulu, ketentuan final adalah peraturan perundang-undangan. Selain karena akan dikenai sanksi dan hukuman jika melanggarnya, juga karena qanun merupakan hierarki hukum Islam yang paling tatbiqy (aplikatif), setelah fatwa, fiqh, dan nash (Alquran dan Hadits).
  2. Jika ada masalah yang belum diatur dalam perundang-undangan, penyelesaiannya dapat mengadopsi fatwa atau fiqh atau jika memungkinkan, berijtihad langsung dari Alquran dan Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA


Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Pedoman Fiqh Munakahat, Jakarta: 2000
H. Idrus Ahmad, Fiqh al-Syafi'iyah: Fiqh Menurut Mazhab Syafi'i, Widjaya,
Jakarta: 1969
Kompilasi Hukum Islam dalam Lampiran Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
Muhammad Ibn Isma'il al-Kahlany, Subul al-Salam Syarh Bulug al-Maram min Jam'i Adillah al-Ahkam, Thoha Putera, Semarang: t.th
Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim
Taqy al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husainy, Kifayah al-Ahyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, Juz II,
Semarang: t.th
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan
Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz IV. Dar al-Fikr, Beirut: 1989
Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz VII: al-Ahwal al-Syahshiyyah, Dar Al-Fikr, Beirut: 1989

 ----------------------------------------------------------------------------------------------
Toto Supriyanto, M.Ag
Sekretaris Pokjahulu Kota Bandung
Penghulu Muda KUA Kec. Coblong
Disampaikan dalam Rapat Dinas Penghulu Kota Bandung

IJAB-QABUL NIKAH


IJAB-QABUL NIKAH
VERSI BAHASA ARAB, INDONESIA, INGGRIS, DAN SUNDA

Puncak dari pelaksanaan akad nikah adalah ijab-qabul. Ijab-qabul merupakan rukun terakhir dari akad nikah. Rukun yang paling istimewa. Sah atau tidaknya suatu akad nikah tergantung kepada sah atau tidaknya ijab-qabul. Karenanya, tidak heran jika sebelum melakukan ijab-qabul biasanya penghulu melakukan pengkondisian suasana dengan pembacaan basmalah, istighfar, syahadat, dan shalawat. Tujuannya untuk menyiapkan hati, menghadirkan kalbu, dan meluruskan niat. Agar akad nikah yang akan dilaksanakan dapat berlangsung dengan sempurna dan khidmat.
Akad dan Ijab-Qabul

Secara bahasa, akad berarti mengikat ujung suatu benda dengan ujung yang lainnya (الربط بين أطراف الشيء ) . Dalam konteks kehidupan, bermakna melakukan perikatan dengan orang lain (ارتبط مع شخص أخر).
Definisi akad ini masih bermakna umum. Melingkupi semua perikatan yang dilakukan manusia dengan sesamanya. Perikatan itu dipilah menjadi dua:
  1. Perikatan yang berupa wakaf, thalak, sumpah, dan yang sejenisnya, yang pelaksanaannya cukup dikemukakan maksudnya oleh satu pihak saja;
  2. Perikatan yang berwujud jual beli, sewa-menyewa, gadai, nikah, dan sebagainya, yang mengharuskan kedua belah pihak yang melakukan perikatan mengemukakan maksudnya.
Perikatan kelompok pertama dinamai dengan tasharruf, sedangkan perikatan yang kedua dikenal dengan "akad"
(tapi) dalam makna yang khusus.
    "Aqad" dalam makna yang khusus ini didefinisikan dengan:

ارتباط إيجاب بقبول على وجه مشروع يثبت أثره في محله

"Tersimpulnya ijab dan qabul dalam perkara yang dibenarkan syariat yang berakibat tetapnya hukum sesuai yang dikehendaki (dalam ijab-qabul)"

Dalam akad nikah, ijab merupakan pernyataan wali menikahkan anak perempuannya kepada calon mempelai laki-laki. Sementara qabul adalah pernyataan penerimaan dari calon mempelai laki-laki atas pernyataan wali.
Ijab-qabul merupakan shighat atau ungkapan untuk menunjukkan keinginan dalam hatinya yang tersembunyi. Pengungkapan kehendak hati yang tersembunyi tersebut dilakukan melalui ucapan atau perbuatan lain yang menempati posisi sama dengan ucapan seperti isyarat atau tulisan. Pada normalnya, shighat (ijab-qabul) harus diungkapkan dengan ucapan, tetapi jika tidak bisa melakukannya dengan ucapan, dapat menggunakan ungkapan lainnya seperti isyarat dan tulisan
Ucapan merupakan alat utama untuk mengungkapkan maksud batin yang tersembunyi, yang paling banyak dipakai dalam akad karena kemudahannya, juga karena kekuatan dalalah dan faktor kejelasannya. Dengan kata-kata, maksud batin yang tersembunyi lebih mudah diungkapkan dengan jelas dan lebih mudah difahami, daripada menggunakan isyarat dan tulisan.

Ijab-Qabul Bahasa Arab
Bahasa Arab merupakan bahasa agama. Bahasa yang digunakan Allah bagi kalam-Nya. Bahasa yang dipakai sehari-hari oleh Nabi Saw. dalam proses tasyri`. Termasuk di dalamnya bahasa dalam ijab-qabul nikah.
Jejak mengenai kalimat yang digunakan Nabi Saw. dalam melakukan ijab: menikahkan para shahabatnya, dapat ditemukan dalam beberapa hadits.
Dalam hadits Bukhari dari Sahl ibn Saad, Nabi menggunakan kalimat zawajnakaha
. Masih dalam Bukhari dari Sahl ibn Saad, Nabi juga menggunakan kata ankahtukaha.

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits-hadits tersebut. Ulama Hanafiyah membolehkan kata apa saja untuk ijab-qabul nikah. Asal yang menunjukkan makna untuk mengalihkan (hak) kepemilikan. Di antaranya kata "menikahkan" (tazwij dan nikah), atau kata "memindahkan kepemilikan" (tamlik), "memberikan" (hibah), atau "menshadaqahkan". Dengan syarat, niatnya harus "nikah" disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud kata tersebut adalah nikah, seperti memberikan mas kawin.
Sedangkan Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah memberikan syarat untuk sahnya akad nikah hanya dengan kata "nikah" (zawaja dan nakaha) saja dan semua kata yang berakar (yang dibentuk) darinya.
Mengenai penggunaan bentuk fi'il yang digunakan, para ulama sepakat atas penggunaan bentuk lampau (fi'il madhi), seperti أنكحتك (ankahtuka) atau زوجتك (zawajtuka), karena bentuk ini sudah biasa digunakan untuk maksud sedang (melakukan) dan bentuk yang digunakan Rasulullah saw. ketika menikahkan. Mereka juga bersepakat bolehnya menggunakan bentuk fi'il mudhari (yang mengandung arti sedang dan akan), seperti أنكحك (unkihuka) atau أزوجك (uzawijuka), dengan syarat harus ada niat bahwa yang dikehendaki adalah arti sedang. Tetapi tidak sah jika ada penambahan huruf/kata س dan سوف , yang sudah pasti menunjukkan makna akan. Tidak sah juga akad yang ijabnya menggunakan bentuk pertanyaan seperti أأزوجك (a uzawizuka: apakah saya menikahkan kamu?). Alasannya, bentuk pertanyaan menunjukan makna akan.
Pada intinya, ijab-qabul yang bermakna akan adalah tidak sah, seperti ucapan wali dalam akad nikah, "سأنكحك إبنبي ماريا غدا ..." (Saya akan nikahkan engkau kepada anakku Maria besok ...). Atau ucapan calon pengantin laki-laki, "سأقبل نكاحها غدا ..." (Saya akan terima menikah kepadanya besok ...)
Kalimat ijab versi bahasa Arab yang populer digunakan adalah:
يَا فَخْرِى, أَنْكَحْتُكَ إِبْنَتِي مَارِيَا بِمَهَرِ خَمْسِيْنَ غِرَامًا مِنَ الذَّهَبِ وَأَدَوَاتِ الصَّلاةِ نَقْدًا

Banyak pula yang menggunakan dua kata (zawaja dan nakaha) langsung dalam ijab, seperti di bawah ini:
يَا فَخْرِى, أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ إِبْنَتِي مَارِيَا بِمَهَرِ خَمْسِيْنَ غِرَامًا مِنَ الذَّهَبِ وَأَدَوَاتِ الصَّلاةِ نَقْدًا

Adapun kalimat qabul yang populer adalah:
قَبِلْتُ نِكَاحَهَا بِمَهَرِ خَمْسِيْنَ غِرَامًا مِنَ الذَّهَبِ وَأَدَوَاتِ الصَّلاةِ نَقْدًا
Dengan versi singkat:
قَبِلْتُ نِكَاحَهَا بِمَهَرٍ مَذْكُوْرٍ نَقْدًا

Sementara qabul dengan dua kata langsung, dengan versi singkat, seperti ini:
قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيْجَهَا بِمَهَرٍ مَذْكُوْرٍ نَقْدًا
  Ijab-Qabul Bahasa Indonesia, Inggris, dan Sunda
Idealnya, ijab-qabul dilakukan menggunakan Bahasa Arab karena bahasa asal syariat. Tetapi dalam realitanya, lebih banyak masyarakat yang tidak menggunakan Bahasa Arab. Alasannya beragam, mulai dari tidak bisa, tidak mengerti, tidak biasa, atau tidak pede karena takut salah. Karenanya, ijab-qabul dilakukan memakai bahasa kaum-nya, selain Bahasa Arab.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa shighat (ijab-qabul) dapat menggunakan bahasa apa saja yang dimengerti oleh kedua pihak yang berakad. Hanya sedikit ulama yang mengharuskan ijab-qabul nikah dengan Bahasa Arab. Di antara ulama tersebut adalah Ibn Qudamah, seorang ulama Syafi'iyah. Ia berpendapat, jika seseorang mampu berbahasa Arab tetapi kemudian tidak menggunakan Bahasa Arab dalam ijab-qabul nikah, maka akadnya tidak sah. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh ulama Hanabilah.
Menggunakan selain Bahasa Arab dalam ijab-qabul berarti ada upaya menerjemahkan. Masalahnya, terkadang ada masalah dalam penerjemahannya, sehingga ijab-qabul menjadi tidak tepat: tidak lagi sesuai maknanya dengan bahasa orisinil-nya.

Sebagai contoh adalah qabul dalam Bahasa Indonesia seperti:
"Saya terima nikahnya Maria, putri kandung Bapak, dengan maskawin berupa perhiasan emas 50 gram dan alat shalat, dibayar tunai"

Atau:
"Terima saya menikah dengan Maria, putri kandung Bapak, dengan maskawin berupa perhiasan emas 50 gram dan alat shalat, dibayar tunai"

Begitu pula qabul dalam Bahasa Sunda:
"Tarima abdi nikah ka Maria, putra teges Bapa, kalayan nganggo maskawin ku perhiasan emas 50 gram ditambah alat shalat, dibayar kontan"

Qabul-qabul tersebut dirasa kurang pas, karena tidak mewakili makna bahasa aslinya. Kelemahannya terdapat dalam cara penerjemahannya yang terlalu kaku. Tidak memperhatikan tata bahasa yang baik dan benar.
Secara lugas memang benar bahwa "qabiltu nikahaha ..." terdiri dari kata "qabila" yang berarti terima atau menerima, "tu" yang berarti saya, dan "nikahaha" yang berarti nikahnya. Walaupun begitu, tidak tepat lantas diterjemahkan apa adanya seperti itu. Ini tidak beda dengan menerjemahkan kalimat dalam Bahasa Inggris, "This is my book", yang diterjemahkan menjadi, "Ini adalah saya buku."
Bahkan, kalimat "Tarima abdi nikah ..." terkadang dipahami oleh calon mempelai laki-laki sebagai kata-kata permintaan. Seolah calon mempelai laki-laki meminta keridhaan wali untuk menikahkan anaknya kepadanya. Padahal, qabul adalah pernyataan penerimaan, bukan permintaan.
Berikut ini ijab-qabul dalam versi Bahasa Indonesia, Bahasa Ingris, dan Bahasa Sunda hasil konsultasi dan diskusi dengan para ahlinya:
  1. Ijab-Qabul Bahasa Indonesia
    Ijab:
    "Fakhri, saya nikahkan engkau kepada Maria, anak kandung saya, dengan maskawin berupa emas 50 gram dan alat shalat, dibayar tunai"
Ada pula yang sengaja mendahulukan penyebutan nama calon pengantin wanita baru kemudian "engkau". Alasan pendapat ini berdasar kepada ikatan antara wali dengan calon pengantin laki-laki dan calon pengantin wanita. Menurut pendapat ini, wali tidak memiliki ikatan apapun dengan calon mempelai laki-laki. Wali hanya memiliki ikaran nasab dengan calon pengantin wanita. Karenanya, ayah sebagai wali tidak bisa menikahkan orang (laki-laki) yang bukan apa-apa dia kepada anaknya. Wali hanya dapat menikahkan anaknya kepada laki-laki yang dikehendakinya. Sehingga, ijab-nya pun harus seperti berikut:
"Fakhri, saya nikahkan Maria, anak kandung saya, kepada engkau, dengan maskawin berupa emas 50 gram dan alat shalat, dibayar tunai"

Qabulnya:
"Saya terima menikah kepada Maria, putri kandung Bapak, dengan maskawin berupa emas 50 gram dan alat shalat, dibayar tunai"

  1. Ijab-Qabul Bahasa Inggris
    Ijab:
    "Fakhri, I give you in marriage to Maria, my daughter, with the dowry in term of fivety grams of gold and the praying aid, cash"

    Adapun qabulnya:
    "I accept to marry to Maria, your daughter, with the dowry in term of fivety grams of gold and the praying aid, cash"

  2. Ijab-Qabul Bahasa Sunda
    Ijab:
    "Fakhri, bapa nikahkeun hidep ka Maria, putra teges bapa, kalayan nganggo maskawin ku emas 50 gram ditambah alat shalat, dibayar kontan"
    Atau:
    "Fakhri, bapa nikahkeun Maria, putra teges bapa, ka hidep, kalayan nganggo maskawin ku emas 50 gram ditambah alat shalat, dibayar kontan"
    Qabul:
    "Abdi nampi nikah ka Maria, putra teges Bapa Hamid, kalayan nganggo maskawin ku emas 50 gram ditambah alat shalat, dibayar kontan"
    Atau:
    "Nampi abdi nikah ka Maria, putra teges Bapa Hamid, kalayan nganggo maskawin ku emas 50 gram ditambah alat shalat, dibayar kontan"


    -------------------------------------------------------------------------


    Toto Supriyanto, M.Ag
    Sekretaris Pokjahulu Kota Bandung
    Penghulu Muda KUA Kec. Coblong

19 TAHUN USIA MINIMAL BAGI WALI NIKAH?


19 TAHUN USIA MINIMAL BAGI WALI NIKAH?
(Tinjauan Kritis Atas Pasal 18 Ayat (2) Poin c PMA Nmor 11 Tahun 2007)


Syarat Wali Nikah dalam PMA Nomor 11 Tahun 2007

Dalam PMA Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, syarat bagi wali (nasab) nikah diterangkan dalam pasal 18 ayat (2) sebagai berikut:

(2) Syarat wali nasab adalah:
  1. laki-laki;
  2. beragama Islam;
  3. baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun;
  4. berakal;
  5. merdeka; dan
  6. dapat berlaku adil.
Pasal ini mengandung makna hukum bahwa seorang wali nasab yang telah memenuhi syarat seperti di atas tetapi belum berusia 19 tahun, maka ia tidak dapat menjadi wali bagi pernikahan. Hak walinya gugur dan berpindah kepada wali nasab lain yang lebih jauh.

Implikasinya, jika si wali nasab yang belum berusia 19 tahun itu tetap menikahkan (menjadi wali dalam suatu pernikahan), maka tentunya akad nikahnya menjadi tidak sah, karena tidak memenuhi syarat. Seperti shalat yang dilakukan tanpa berwudlu terlebih dahulu. 

Dalam pasal tersebut, syarat-syarat selain baligh adalah biasa: sejalan dengan keyakinan hukum yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia. Yang berbeda dan terlihat kontroversi adalah keterangan tambahan mengenai syarat baligh, yakni, kata "berumur sekurang-kurangnya 19 tahun". Kata-kata tambahan itu terlihat begitu berani untuk berbeda dengan pemahaman kebanyakan masyarakat, yang meyakini bahwa usia baligh bagi laki-laki adalah 15 tahun.

Sebelum terbitnya PMA Nomor 11 tahun 2007, ketentuan usia 19 tahun hanya diberlakukan bagi calon pengantin laki-laki dan saksi. Dengan kata-kata tambahan tersebut terlihat adanya upaya untuk memberikan kepastian hukum mengenai usia baligh. Agaknya pemerintah ingin konsisten menerapkan usia ideal 19 tahun bagi semua pihak yang melakukan akad nikah (kecuali calon pengantin wanita).

Dengan hal itu pula Pemerintah telah melakukan distorsi: pengalihan makna dari baligh ke dewasa. Distorsi yang mungkin disengaja untuk tujuan maslahat. Bisa jadi, Pemerintah berkeinginan agar wali nasab jangan sampai dilakukan oleh anak-anak, yang menurut perundang-undangan yang berlaku tidak sah melakukan suatu tindakan hukum.
Namun, dengan kebijakan itu, ditakutkan bukannya maslahat yang didapat, tetapi dosa karena telah melakukan tahrif (mengubah hukum syariat) dan menyulitkan ummat.

Ditambah lagi, pendefinisian anak-anak dan dewasa dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tidak sama. Perundang-undangan yang satu berbeda dengan yang lainnya.

UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada pasal 1, menyebutkan bahwa, "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan." Sementara UU Anti Pornografi dan Pornoaksi memberikan batasan, "Anak-anak adalah seseorang yang belum berusia 12 (dua belas) tahun; sdangkan Dewasa adalah seseorang yang telah berusia 12 (dua betas) tahun keatas."

Dalam dunia hukum (positif), dewasa juga dikenal dengan istilah legal age, yaitu usia yang menurut hukum memenuhi syarat untuk diberi hak dan kewajiban hukum tertentu. Legal age yang berlaku di Indonesia juga berbeda-beda. Legal age untuk menikah di Indonesia adalah 15 tahun untuk wanita dan 18 tahun untuk pria (KUHPdt.),
legal age untuk menikah bagi orang Islam adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), dan legal age untuk dimintai tanggung jawab pidana adalah 8 tahun (UU No. 3/1997 ttg Pengadilan Anak)

Term Fiqh tentang Usia Kecakapan Bertindak

Dalam nash (Alquran dan Hadits) maupun dalam kitab-kitab fiqh ditemukan beberapa istilah mengenai fase usia (kedewasaan) manusia. Istilah-istilah tersebut sebagai berikut:
  1. Mumayyiz (tamyiz); yaitu fase kesadaran intelektual. Pada fase ini manusia mulai paham akan lingkungan. Ia mulai dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk; apa yang boleh dikerjakan dan apa yang tidak boleh; juga memahami akan hak dan kewajiban. Menurut Atjep Djazuli, mumayyiz dimulai pada usia 7 tahun.
    Alquran menyebut fase ini dengan balaga al-hulum, seperti dalam surat Al-Nur ayat 59:
    وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (59)

    Pada usia hulum tersebut, anak-anak yang akan masuk ke kamar ibunya harus meminta izin terlebih dahulu untuk masuk.
    Si ibu tidak boleh sembarangan lagi membuka aurat di hadapan si anak.
    Al-Qurtuby dan Ibn Katsir dalam tafsirnya masing-masing, menyebutkan Al-Auza`iy pendapat bahwa usia anak al-hulum adalah 4 tahun.
  2. Baligh; yaitu fase kematangan biologis. Pada fase ini manusia mengalami kematangan secara fisik. Seluruh kelengkapan tubuh orang dewasa mulai ada. Bulu-bulu halus mungkin mulai tumbuh, seiring perkembangan hormon, suarapun berubah.
    Majalah al-Ahkam al-Adliyah (semacam kitab undang-undang hukum perdata yang diterapkan pada masa pemerintahan Turki Utsmany) telah menyebutkan kriteria yang jelas mengenai baligh. Seperti diterangkan dalam Pasal 985, 986, dan 967 di bawah ini:

    Pasal 985
    Kedewasaan umur (baligh) itu dibuktikan oleh keluarnya sperma ketika bermimpi, oleh kemampuan untuk bisa menghamili, oleh adanya menstruasi, dan oleh kemampuannya untuk mengandung.

    Pasal 986
    Mulainya umur dewasa (baligh) untuk pria adalah 12 tahun penuh dan untuk wanita 9 tahun penuh. Berakhirnya masa baligh bagi pria ataupun wanita adalah pada umur 15 tahun penuh. Jika seorang pria ketika mencapai umur 12 tahun atau wanita ketika mencapai 9 tahun belum mencapai usia baligh, mereka disebut sedang menuju baligh (murahiq dan murahiqah) sampai tiba saatnya umur baligh.

    Pasal 987
    Seseorang yang telah mencapai batas akhir usia baligh, tetapi tidak memperlihatkan tanda-tanda baligh, maka menurut hukum, dianggap telah mencapai umur baligh.

    Fase ini, dalam Alquran disebut sebagai balaga al-nikah (usia nikah), separti dalam surat Al-Nisa ayat 6:

    وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا (6)

    Menurut Ibn Katsir, berdasarkan beberapa hadits, usia balaga al-nikah adalah 15 tahun.
    Hadits-hadits tersebut antara lain:
عَنْ عَائِشَة وَغَيْرهَا مِنْ الصَّحَابَة عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ " رُفِعَ الْقَلَم عَنْ ثَلَاثة الصَّبِيّ حَتَّى يَحْتَلِم أَوْ يَسْتَكْمِل خَمْس عَشْرَة سَنَة وَعَنْ النَّائِم حَتَّى يَسْتَيْقِظ وَعَنْ الْمَجْنُون حَتَّى يُفِيق "

عَنْ اِبْن عُمَر قَالَ : عُرِضْت عَلَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْم أُحُد وَأَنَا اِبْن أَرْبَع عَشْرَة فَلَمْ يُجِزْنِي وَعُرِضْت عَلَيْهِ يَوْم الْخَنْدَق وَأَنَا اِبْن خَمْس عَشْرَة سَنَة فَأَجَازَنِي
  1. Rusyd; yaitu fase kematangan psikologis. Pada fase ini, bukan saja secara fisik-biologis sudah matang, melainkan juga telah matang dari emosi dan pengendalian diri. Ia akan bertindak setelah diperhitungkan dengan matang akibat yang akan ditimbulkannya.
    Ada dua istilah yang disebutkan Akquran bagi fase ini, yaitu balaga asyuddah dan istawa, sebagaimana dalam surat Al-Qashash ayat 14:

    وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (14)
    Pada fase ini para (calon) nabi telah memiliki kesadaran spiritual dan akhirnya mendapat wahyu.
    Menurut Ibn Abbas, usia balaga asyuddah adalah 20 tahun, sedangkan usia istawa adalah 40 tahun. Berdasarkan hadits dari Atha:
وَقَالَ فِي رِوَايَة عَطَاء عَنْهُ : إِنَّ أَبَا بَكْر صَحِبَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ اِبْن ثَمَانِيَ عَشْرَة سَنَة وَالنَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِبْن عِشْرِينَ سَنَة , وَهُمْ يُرِيدُونَ الشَّام لِلتِّجَارَةِ , فَنَزَلُوا مَنْزِلًا فِيهِ سِدْرَة , فَقَعَدَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ظِلّهَا , وَمَضَى أَبُو بَكْر إِلَى رَاهِب هُنَاكَ فَسَأَلَهُ عَنْ الدِّين . فَقَالَ الرَّاهِب : مَنْ الرَّجُل الَّذِي فِي ظِلّ الشَّجَرَة ؟ فَقَالَ : ذَاكَ مُحَمَّد بْن عَبْد اللَّه بْن عَبْد الْمُطَّلِب . فَقَالَ : هَذَا وَاَللَّه نَبِيّ , وَمَا اِسْتَظَلَّ أَحَد تَحْتهَا بَعْد عِيسَى . فَوَقَعَ فِي قَلْب أَبِي بَكْر الْيَقِين وَالتَّصْدِيق , وَكَانَ لَا يَكَاد يُفَارِق رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَسْفَاره وَحَضَره . فَلَمَّا نُبِّئَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ اِبْن أَرْبَعِينَ سَنَة , صَدَّقَ أَبُو بَكْر رَضِيَ اللَّه عَنْهُ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ اِبْن ثَمَانِيَة وَثَلَاثِينَ سَنَة . فَلَمَّا بَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَة قَالَ : " رَبّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُر نِعْمَتك الَّتِي أَنْعَمْت عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ " الْآيَة

Dari paparan di atas jelaslah bahwa secara nash, baligh tidak bisa disamakan dengan dewasa. Karena itu, jelas pula bahwa pemerintah (termasuk kita) telah melakukan kekeliruan, yang harus segera ditebus dengan perubahan dan perbaikan.

Beberapa Usulan

Dalam menetapkan syarat baligh bagi wali nasab, alangkah bijaknya jika memperhatikan hal-hal berikut:
  1. Memang benar bahwa posisi wali dalam (akad) pernikahan begitu penting. Walaupun demikian, tidaklah perlu mengubah makna nash untuk mengejar nilai ideal. Karena nikah adalah ibadah, maka syarat-syarat, rukun, kewajiban, sunnah-sunnahnya, dan kaifiyahnya harus tetap dijaga agar sesuai dengan yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya;
  2. Hukum memang tidak harus tunduk kepada keinginan masyarakat. Tetapi, banyak terjadi, aturan perundang-undangan tidak dapat diterapkan dengan baik karena tidak sejalan dengan keyakinan kebanyakan masyarakat (seperti tentang sahnya thalak harus di depan hakim, dll). Karena, agar hukum berwibawa, perundang-undangan dilaksanakan dengan suka cita oleh masyarakat, pembuatan peraturan perundang-undangan harus pula memperhatikan madzhab masyarakat;
  3. Dalam poin c ayat (2) pasal 18 dari PMA Nomor 11 tahun 2007 tidak usah ditambahkan kata-kata, "berumur sekurang-kurangnya 19 tahun". Cukup saja disebutkan, "baligh", Usia minimal 19 tahun diganti dengan 15 tahun;
  4. harus ada pasal khusus yang menerangkan tentang kriteria baligh. Bunyi pasalnya sebagaimana pasal 985, 986, dan 987 Majallah al-Ahkam al-Adliyah;



-----------------------------------------------------------------------------------------

Toto Supriyanto, M.Ag
Sekretaris Pokjahulu Kota Bandung
Penghulu Muda KUA Kec. Coblong

  © POKJAHULU Kota Bandung 2010

Back to TOP